Laman

Cari Blog Ini

Minggu, 24 April 2011

Teori Common Link Juynboll

RELIABILITAS DAN KEMAPANAN ILMU HADITS;
Sanggupkah ditumbangkan oleh teori-teori baru Orientalis?


Oleh: Nidlol Masyhud Bahri *


Di antara disiplin-disiplin keilmuan Islam, Ilmu Hadits memiliki posisi yang penting dan istimewa. Penting, karena dengan ilmu inilah otentisitas transmisi (periwayatan) materi-materi verbal dan visual yang berasal dari Rasulullah saw  diuji serta ditentukan. Dan istimewa, karena tabiat serta rancang bangun metode ilmu ini memang tidak kita jumpai padanannya dalam tradisi-tradisi keilmuan lainnya di luar Islam. Ini berbeda dengan disiplin Aqidah (Teologi), Fiqih (Hukum), Dakwah (Misiologi), Tafsir (Hermeneutika), Tarikh (Sejarah), Lughah (Bahasa), dan Ushul Fiqih (Semantika). Meskipun juga tidak sepadan, disiplin-disiplin keilmuan tersebut dengan mudah bisa kita temukan bandingannya dalam tradisi keilmuan di luar Islam. Sementara untuk Ilmu Hadits, kita hanya menjumpai beberapa serpihan bandingannya secara tidak memadai pada beberapa sub-metode dalam Kajian Sejarah dan Ilmu Komunikasi.


Paling tidak, ada tiga faktor utama yang membuat ilmu ini begitu khas bagi Umat Islam. Pertama, karena tradisi periwayatan beruntun antargenerasi (sanad) memang hanya ada dalam komunitas ini. Kedua, karena tradisi periwayatan tersebut pada dasarnya dilakukan secara langsung (lisan) serta ditopang dengan talenta hafalan plus tingkat ketelitian yang tinggi. Dan ketiga, karena sejak semula para pembesar umat ini memang selalu melestarikan budaya kritis dan nalar selektif, terutama terhadap hal-hal yang berkaitan erat dengan persoalan ilmu dan agama.

Dalam tradisi Ilmu Hadits, analisa kritis terhadap otentisitas sanad serta validitas matan dilakukan secara cermat dengan melibatkan tiga aspek sekaligus yang memang sangat signifikan dalam sebuah laporan informasi, yaitu: otoritas dan kualifikasi sang reporter/periwayat secara kejujuran (al-`adâlah) maupun kecermatannya (adh-dhabt); kontinuitas rantai riwayat (ittishâlu 's-sanad); serta ketahanan sanad maupun matan pada proses komparasi (as-salâmah mina 'sy-syudzûdz) dan penelusuran lebih lanjut (as-salâmah mina 'l-`ilal). Satu saja dari ketiga aspek determinan ini tidak terpenuhi, maka riwayat sebuah hadits akan bernilai dhâ`îf (diragukan kesejarahannya). Ini logis, sebab sebagai sebuah sumber epistema, reportase berita memang baru akan bernilai ilmiah ketika ia bersih dari pemalsuan dan penggantian, tidak terputus di tengah jalan, serta selaras dengan materi-materi reportase lainnya yang sudah terbukti valid.

Demikian canggihnya metode kritik riwayat yang dipakai oleh para ulama Hadits, membuat kalangan Orientalis tidak lagi bisa menemukan celah untuk menggugurkan kekokohanya secara ilmiah. Akhirnya lontaran-lontaran negatif yang kemudian kita jumpai dalam kajian-kajian para pemerhati hadits di kalangan Orientalis ini adalah lontaran-lontaran yang hambar, tidak mengusung hal baru yang signifikan, atau hanya berisi pengajuan teori-teori yang dibasiskan pada asumsi-asumsi sophis dan reduktif.

Ignaz Goldziher, misalnya, dalam buku Muhammedanische Studien (Muslim Studies) mendasarkan skeptisismenya akan kesahihan hadits-hadits nabawi pada minimnya sumber-sumber tertulis di zaman-zaman awal, adanya hadits-hadits yang kontradiktif, banyaknya hadits-hadits yang terdapat di buku-buku belakangan sementara ia tidak ada di buku-buku generasi sebelumnya, serta fenomena bahwa para shahabat yunior ternyata lebih banyak meriwayatkan hadits daripada para shahabat senior. Di samping itu, Goldziher juga mendasarkan kesimpulannya pada argumen: “Every stream and counter-stream of thought in Islam have found its expression in the form of hadîth ... Every ra'y or hawâ, every sunna and bid'a has sought and found expression in the form of hadîth”.

Tentu saja, argumen-argumen Goldziher ini sangatlah naif. Sejarah menyaksikan, tradisi reportase lisan di masa-masa awal periwayatan hadits itu tidaklah dilakukan serampangan. Kondisi sosio-historis yang berlangsung kala itu justru lebih memberikan jaminan ilmiah pada riwayat-riwayat lisan oleh tokoh-tokoh otoritatif yang tersampaikan di forum-forum populer, dibandingkan riwayat-riwayat tertulis pada lembaran-lembaran buku. Bahkan secara filologis, kesalahan atau pemalsuan pada riwayat hadits justru dengan mudah bisa terjadi pada materi-materi tertulis, karena sangat sederhananya aturan ortografis di masa klasik serta karena keutuhan materi-materi itu sampai zaman sekarang—tanpa dukungan riwayat lisan—amatlah sulit untuk bisa dipastikan.

Perkara munculnya hadits-hadits secara lisan yang tidak terdapat pada buku-buku di periode sebelumnya juga sama sekali bukan alasan untuk menyatakannya palsu, sebab tradisi masal pembukuan hadits-hadits nabawi memang baru semarak di era-era belakangan pasca Tabi'ut Tâbi'în. Begitu juga dengan perkara sedikitnya riwayat hadits dari para sahabat senior. Fenomena ini sangatlah wajar, sebab ramainya gerakan riwayat hadits di kalangan Shahabat memang baru terjadi pasca wafatnya para sahabat senior, serta karena memang para shahabat yunior itulah yang memiliki usia panjang dan tempo waktu yang membuat mereka lebih leluasa untuk bertemu lama dan menyampaikan hadits-hadits ke generasi Tabi'in.

Kenaifan paling kental sangat terasa dalam poin argumentasi Goldziher yang menyandarkan diri pada adanya riwayat-riwayat saling kontradiktif, terutama yang berhubungan dengan dukungan dan serangan antar kelompok teologi, madzhab fiqih, dan aliran politik. Tentu saja fenomena ini muncul karena adanya berbagai pemalsuan atau kesalahan dalam periwayatan hadits. Akan tetapi adanya beberapa pemalsuan dan kesalahan itu tidaklah lantas membuat seluruh riwayat hadits dalam buku apapun dan oleh periwayat manapun menjadi kehilangan nilai otentisitasnya. Dan justru tujuan utama dari dibangunnya Ilmu Hadits dan Metode Kritik Riwayat di kala itu adalah untuk menyaring dan menanggulangi pemalsuan-pemalsuan hadits serta kesalahan-kesalahan transmisi. Ibnu Abbas ra menginformasikan, “Kunnâ idzâ sami`nâ rajulan yaqûlu qâla rasûlullâh, ibtadarathu abshârunâ wa ashgainâ ilaihi bi âdzâninâ (idz lam yukdzab `alaih). Fa lammâ rakiba 'n-nâsu 'sh-sha`ba wa 'dz-dzalûl, lam na'khudz mina 'n-nâsi illâ mâ na'rif”.

Kenaifan yang serupa dalam menyerang Hadits juga dilakukan oleh Joseph Schacht. Dalam bukunya, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Schacht mengklaim bahwa sanad lengkap (yang berujung ke Rasulullah saw) adalah ciptaan/tambahan para fuqâhâ' di era Tabi'in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi. Ia mengatakan, “In the course of polemical discussion, doctrines are frequently projected back to higher authorities: traditions from Successors become traditions from Companion, and traditions from Companions become tradition from the Prophet”. Schacht menyebut modus asumtifnya ini sebagai ‘Backward Projection’. Dan baginya, tokoh pembuat sanad itulah yang kemudian menyebarkan secara luas hadits baru itu ke generasi berikutnya, sehingga ialah yang nantinya menjadi poros sanad (common link / madâru 'l-isnâd) ketika jalur-jalur periwayatan hadits tersebut dibagankan. Setelah tokoh tersebut, jalur periwayatan hadits menjadi bercabang banyak. Sementara dari tokoh tersebut ke belakang, jalur periwayatannya adalah tunggal. Dan tokoh common link itulah yang kemudian dituduh oleh Schacht sebagai pembuat sanad dan matan hadits.

Teori Common Link ini kemudian disuarakan lebih kencang oleh orientalis asal Belanda, Gautier H.A. Juynboll, dalam berbagai tulisannya seperti Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadîth; Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith; dan The Authenticity of the Tradition Literature: Discussion in Modern Egypt. Mengamini Schacht, Juynboll mengklaim bahwa orang yang paling bertanggungjawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan originator dan fabricator (baca: pemalsu) dari hadits yang dibawanya. Argumennya satu: Jika memang sebuah hadits itu telah ada semenjak Rasulullah saw, mengapa ia hanya diriwayatkan secara tunggal di era Shahabat atau Tabi'in, lalu baru menyebar setelah Common Link? Juynboll menganggap fenomena ini muncul karena common link itulah yang pertama kali memproduksi dan mempublikasikan hadits tersebut dengan menambahkan sebuah jalur sanad ke belakang sampai Rasulullah saw. Bagi Juynboll, “the saying which he claim was uttered by the prophet is in reality his own, or (if somebody else's) he was the first put it into so many word”.

Realitas yang sebenarnya akan nampak ketika kita bandingkan klaim Juynboll di atas dengan kondisi obyektif yang terjadi pada era-era pertama perkembangan riwayat hadits di zaman dulu. Sudah maklum, bahwa semenjak masa Rasulullah saw sampai periode kekhalifahan Umar ibnul Khaththab, budaya periwayatan hadits masih sangat dibatasi. Hal ini dilakukan demi menjaga prioritas perhatian pada transmisi Al-Quran. Juga dikarenakan situasi saat itu memang belum menuntut gencarnya periwayatan hadits-hadits, sebab komunitas umat masih didominasi oleh para shahabat yang pernah menerima pengajaran langsung dari Rasulullah saw. Gencarnya periwayatan hadits baru terjadi di era Tabi'in, seiring dengan meluasnya wilayah Islam dan terdistribusinya para shahabat ke berbagai daerah; banyaknya orang-orang baru yang belum pernah bertemu dengan Rasul secara langsung; munculnya beberapa persoalan keilmuan dan permasalahan fiqih baru yang memerlukan solusi lebih detail dari As-Sunnah; serta mulai adanya gerakan pemalsuan hadits yang dilakukan oleh sekte-sekte sempalan dan tukang-tukang cerita. Semakin lama, faktor-faktor ini semakin menguat. Maka sangatlah tidak mengherankan jika semaraknya pencabangan jalur sanad itu baru terjadi di era-era berikutnya (bukan di era Shahabat dan Tabi'in).

Kondisi obyektif lainnya yang turut mendukung munculnya fenomena common link dalam jalur sanad sebuah hadits adalah adanya tradisi 'spesialisasi guru/murid'. Banyak para Shahabat yang tinggal di Mekah, namun yang fokus dan spesial dalam periwayatan hadits adalah Ibnu Abbas ra, sehingga beliaulah yang menjadi buruan para Tabi'in dalam urusan ini. Begitu juga dengan kondisi di Kufah yang lebih terfokus pada Ibnu Mas'ud ra dan kondisi di Madinah yang lebih terfokus pada Abu Hurairah, `A'isyah, Anas ibn Malik, dan Zaid ibn Tsabit ra. Tradisi spesialisasi guru/murid ini terus berlanjut di era berikutnya. Di antara sekian banyak murid Ibnu Abbas misalnya, hanya beberapa tokoh seperti Atha', Mujahid, dan Sa'id ibn Jubair rh yang kemudian dianggap spesial dan menjadi buruan para penuntut hadits-hadits Ibnu Abbas. Hal ini juga terjadi pada shahabat-shahabat ahli riwayat lainnya, dan terus berlangsung di era berikutnya.

Dari situasi di atas, muncullah fenomena “silsilah dzahabiyyah” / “ashahhu 'l-asânîd” dan “atsbatu 'n-nâs fî fulân”. Yang pertama berarti rantai jalur istimewa yang kualifikasi keakuratan riwayatnya sudah sangat terjamin, semisal jalur Ibnu `Umar → Nâfi` → Mâlik; `Ali → Ubaidah → Ibnu Sîrin; Ibnu Mas`ûd → `Alqamah → Ibrâhîm; Anas → Tsâbit → Hammâd ibn Salamah; dan Abu Hurairah → Abu Shâlih → Suhail. Sedangkan yang kedua adalah adanya murid tertentu yang kualifikasinya paling otoritatif (dari segi keakuratan riwayatnya) untuk hadits-hadits dari guru tertentu (sehingga menjadi timbangan akurasi bagi riwayat oleh murid yang lain), misalnya Ibnu `Uyainah yang merupakan atsbatu 'n-nâs fî `Amr ibn Dînâr dan Al-Laits ibn Sa'd yang merupakan atsbatu 'n-nâs fî Sa`îd Al-Maqbury. Tentu saja, fenomena ini secara otomatis akan mengkondisikan para penuntut dan penghimpun hadits untuk lebih memprioritaskan hadits-hadits yang tersampaikan melalui sanad-sanad istimewa tersebut dan meninggalkan sanad-sanad lainnya. Jadi sangat tidak mengherankan jika mayoritas hadits-hadits yang terhimpun pada buku-buku kanonik semisal Al-Kutubu 's-Sittah itu kemudian banyak sekali yang hanya memiliki jalur tunggal dari common link ke belakang. Bagi para ulama hadits, nilai kualitas yang sudah jelas harus lebih dikedepankan dibanding nilai kuantitas yang belom jelas. Ini sangat kontras dengan teori Juynboll yang lebih berkutat pada kuantitas formal dan jumlah pencabangan bagan sanad.

Meskipun demikian, para ulama hadits juga punya perhatian cermat terhadap persoalan kuantitas. Misalnya riwayat-riwayat Syu'bah dan Ats-Tsaury rh. Kedua tokoh ini dikenal sebagai amîru 'l-mu'minîn fi 'l-hadîts, dan para pakar hadits lebih mengedepankan riwayat Ats-Tsaury dibanding Syu'bah (ketika terjadi perbedaan) sebagaimana pernah diakui sendiri oleh Syu'bah. Hanya saja, ketika keduanya berbeda dalam periwayatan situasi sebuah hadits tentang berdiri menyambut pemimpin yang dicatat oleh At-Tirmidzi dll, riwayat Syu'bah lebih dikedepankan ketimbang riwayat Ats-Tsaury, karena banyaknya ahli riwayat otoritatif lain yang bersesuaian dengan Syu'bah. Jadi memang ada perimbangan cemat antara aspek kualitas dengan aspek kuantitas dalam studi komparatif sanad maupun matan oleh para pakar hadits. Inilah yang menjadi garapan bagi ilmu paling rumit dalam Dunia Hadits, yaitu Ilmu `Ilal.

Dengan tingkat kajian yang sangat mendalam ini, fenomena common link tentu tidak luput dari sorotan para kritikus hadits, baik di zaman klasik maupun kontemporer. Bahkan justru madâru 'l-isnâd inilah yang menjadi titik pemberangkatan dari hampir semua analisa Ilmu `Ilal yang terkait dengan nakârah, syudzûdz, dan tafarrud. Setelah terlebih dahulu melakukan induksi besar-besaran terhadap variasi sanad dan matan sebuah hadits (proses pencarian i`tibâr, tâbi`, dan syâhid), maka ketika bundel sanad tetap menunjukkan adanya simpul common link, para pakar hadits akan jeli mencermati kualifikasi personal dari periwayat common link ini: Apakah ia memang otoritatif untuk terbiasa sendirian meriwayatkan hadits secara tetap akurat (yuhtamalu tafarruduh) ataukah tidak? Ketika ia memang otoritatif untuk itu (apalagi jika termasuk dalam ashahhu 'l-asânîd dan atsbatu 'n-nâs fî fulân), maka sama sekali tidak ada alasan ilmiah untuk kemudian menolak riwayatnya. Namun jika ia tidak otoritatif untuk tafarrud, maka riwayat common link itu tentu saja syâdz atau matrûk. Dan ketika common link itu memang terbiasa keliru (munkaru 'l-hadîts) atau memalsukan hadits (kadzdzâb), maka tentu saja riwayat tunggalnya itu sama sekali tidak bisa diterima (berkualifikasi mardûd atau maudlû`). Kajian cermat dan mendetail ini tentu saja jauh lebih ilmiah dibandingkan teori hambar orientalis di atas.

Demikianlah, di samping gagal menggugurkan validitas hadits shahih dari kajian matan, teori-teori baru ciptaan beberapa pemerhati Hadits dari kalangan Orientalis ternyata juga gagal menggugurkan otentisitas hadits shahih secara sanad. Bahkan lebih dari itu, genus kajian dari teori-teori yang dianggap 'baru' tersebut tenyata sama sekali bukanlah sesuatu yang asing di kalangan ulama kritikus hadits. Dengan segala kecermatan dan reliabilitasnya, metodologi yang diterapkan oleh para ulama senior tersebut telah melejit jauh melampaui ide-ide Schacht dan Juynboll. Satu-satunya yang baru bagi teori orientalis ini adalah asumsi a priori bahwa setiap periwayat common link merupakan sosok pembual yang tidak jujur. Tapi tentu saja, asumsi subyektif tanpa dasar ini tidaklah mampu berbicara di arena kajian ilmiah, apalagi menumbangkan metode Ilmu Hadits yang kemapanan epistimologis dan reliabilitas aplikatifnya sudah sedemikian kokoh dan akurat. Wallâhu 'l-muwaffiq!

-------------------------------------------
* Ketua I Orsat ICMI Kairo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar