MAZHAB-MAZHAB FIQIH
Oleh : Mustofa Khoyalim
A. Pendahuluan
Membicarakan tentang mazhab-mazhab fiqih dan perkembangannya cukuplah menarik dan tiada habisnya. dalam membahas mazhab-mazhab dalam fiqih seringkali dimulai dengan sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat dikalangan ulama’ fiqih dalam memahani Al-Qur’an dan Hadits.
Al-Qur’an sebagai salah satu sumber hukum (disamping Al-Hadits) mengandung ayat-ayat hukum yang terbatas jumlahnya. Dalam jumlah yang terbatas ini, Al-Qur’an mengatur segala tingkah laku manusia dalam kehidupan dunia dan persiapan untuk kehidupan akhirat. Karena luasnya lapangan yang diatur oleh dalil-dalil yang terbatas, maka ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an pada umumnya mengatur secara garis besarnya saja.
Kedudukan Al-Qur’an sebagai dalil utama dengan bentuk pengaturan yang secara global memerlukan penjelasan. Semasa Rasullulah masih hidup, hal ini tidaklah menjadi persoalan, karena Rasulullah adalah orang yang diberi wewenang penuh untuk memberikan penjelasan terhadap wahyu Allah dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang di sebut Sunnah.
Setelah Rasulullah wafat dan ajaran Islam mulai meluas serta kehidupan yang semakin kompleks, timbul hal-hal baru yang belum pernah ada pada waktu Rasulullah masih hidup. Adanya keyakinan bahwa semua tingkah laku manusia telah di atur oleh Allah dalam Al-Qur’an, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Guna mengetahui makna yang tersurat dari wahyu Allah, diperlukan kemampuan akademik untuk mengekaji apa yang tersimpan dalam wahyu Allah (Al-Qur’an) dan penjelasan Rasul (As-Sunnah).
Dalam makalah ini penulis akan berusaha untuk mengulas secara ringkas dan gamblang mengenai latar belakang timbulnya mazhab-mazhab dalam fiqih Islam, mazhab-mazhab dalam fiqih Islam itu sendiri serta pengaruhnya terhadap perkembangan hukum Islam.
B. Pembahasan
1. Latar Belakang Munculnya Mazhab
Mazhab dalam fiqih Islam terbatas hanya pada empat mazhab yang terkenal saja, melainkan meliputi semua mazhab yang ada, baik dari golongan ahlussunah, syi’ah maupun golongan dan aliran lainnya.
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah merupakan kitab yang tidak mengandung kebatilan, dan As-Sunnah sebagai penjelasan Rasulullah dari Al-Qur’an, merupakan dua sumber pokok dalam Islam. Islam sebagai agama telah memberikan aturan-aturan yang mengatur segala gerak tingkah umat manusia dalam segala ciri kehidupan.
Pandangan Islam terhadap masalah atau yang berhubungan dengannya, seperti masalah peribadatan, adalah tetap, kontinyu, tidak dapat diubah-ubah dan tidak dapat di otak-atik.[1]
Akan tetapi dalam masalah kemasyarakatan dan aturan-aturannya, pandangan Islam berlaku sebaliknya. Ini karena Islam mengetahui bahwa masyarakat senantiasa bekembang dan memahami pula bahwa persolana dan kasus kemasyarakatan selalu muncul setiap saat. Karena itu dalam soal kemasyarakatan Islam bersikap luwes. Ia hanya meletakkan garis-garis besarnya saja. Apabila muncul peristiwa atau problem baru, maka akal fikiran manusialah yang diberi tugas menyelesaikannya.
Sebagai contoh, masalah haramnya riba’. Rasulullah memberikan penafsiran lalu menetapkan batasan-batasannya. Selanjutnya beliau menyerahkan kepada pembuat hukum untuk menggali atau meneliti faktor (illat) apa yang menyebabkan riba’ haram. Kemudian atas dasar faktor itu dikeluarkanlah hukum muamalah mengenai berbagai persolanan hidup sesuai dengan kondisi masyarakatnya.[2]
Rasulullah telah mendorong umat Islam untuk berijtihad dan menggunakan fikirannya. Dalam sebuah hadis diceritakan ketika Muaz ibn Jabal hendak ditugaskan menjadi hakim di Yaman, Rasulullah bertanya kepadanya “Apa yang akan kau lakukan jika kepadamu dihadapkan suatu persoalan?” Muaz menjawab “saya akan melihat dulu dalam Al-Qur’an” “jika kamu tidak dapatkan?” kata Rasul, Muaz menjawab “saya akan melihatnya dalam Sunnah”, Rasul bertanya lagi “jika tak kamu jumpai?” Dia mengatakan “saya akan berijtihad semaksimal mungkin dengan fikiran (ra’yu) saya. Selanjutnya Muaz mengatakan bahwa kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dadanya dan mengatakan “segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasul-Nya sesuai yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Semasa Rasulullah SAW masih hidup, beliaulah yang memiliki kewenangan dalam menafsirkan wahyu Allah SWT, sehingga segala kasus dan permasalahan yang terjadi yang tidak dimengerti oleh para sahabat kala itu dapat secara langsung dipintakan penjelasannya kepada Rasulullah. Tetapi setelah Rasulullah wafat, umat Islam menghadapi berbagai problema sosial yang baru dan yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW.
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul belakangan, lahirlah para ahli fatwa. Mula-mula tugas ini dipegang oleh khulafa’ al-rasyidin, kemudian para sahabat rasul yang lainnya. Dalam berfatwa, mereka mendasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan jika dihadapkan pada masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur’an maupun Al-Sunnah, mereka melakukan musyawarah dan mengadakan dialog diantara mereka sendiri untuk mencapai kesepakatan hukum. Dari sinilah lahir dasar hukum Ijma’ (konsensus para ahli) yang menempati urutan ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sepeninggal para sahabat, selanjutnya adalah masa tabi’in. Mereka adalah murid-murid para sahabat yang mengiktui dan mempertahankan perndapat-pendapat anutannya. Kemudian masa tabi’in al-tabi’in, dan selanjutnya masa ulama-ulama muta’akhirin hingga sekarang. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi munculnya para ahli fatwa sesudah meninggalnya Rasulullah SAW, yaitu :
a. Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di semenanjung Arab, Iraq, Parsi, Mesir, dll.
b. Pergaulan Kaum muslim dengan bangsa-bangsa yang ditaklukannya.
c. Jauhnya daerah-daerah taklukan dengan ibu kota pemerintahan Islam, membuat para gubernur, para hakim, dan para ulama’ harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problematika dan masalah-masalah baru yang dihadapi.
Maka adalah wajar jika fatwa-fatwa tersebut memiliki watak kedaerahan yang menjawab berbagai tuntutan masyarakat sebagai realisasi bahwa hukum-hukum dan aturan-aturan adalah refleksi perkembangan masyrakat sesuai dengan kondisi masing-masing dan fatwa ini diikuti dan dipertahankan oleh para penganutnya yang menjadikan cikal bakal terbentuknya mazhab-mazhab dalam fiqih Islam.
2. Kelompok Mazhab dalam Fiqih Islam
a. Kelompok Fuqaha’ Ahli Hadits
Dalam fatwa-fatwanya golongan ini berpegang pada teks-teks Al-Qur’an dan Hadits. Mereka kurang senang, bahkan menghindari pemakaian Ijtihad. Tokoh utama golongan ini adalah Imam Malik bin Annas (93-179 H / 712-795 M).
Imam Malik bin Annas, pendiri mazhab Maliki, dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Beliau berasal dari Kablah Yamniah. Sejak kecil beliah telah rajin menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an. Tak kurang dari itu, ibundanya sendiri yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.[3]
Beliau hidup dalam sebuah keluarga yang semuanya adalah ahli hadits, banyak mengetahui atsar sahabat, hadits dan fatwa-fatwanya. Kakeknya, Malik Ibnu Amir adalah termasuk tabi’in besar. Saudara-saudaranya dan paman-pamannya berkecimpung dalam dunia ilmu dan fiqh.[4]
Sepanjang riwayat yang ada, beliau tidak pernah meninggalkan kota Madinah dan masyarakat Hijaz. Suatu kehidupan yang sederhana dan jauh dari pengaruh kebudayaan luar berikut berbagai problemnya. Kehidupan ini lebih dekat dengan tradisi badawah (kampung). Inilah yang menjadi faktor penting mengapa ia lebih cenderung memakai hadits dan menjauhi sampai batas tertentu pemakaian rasio karena Madinah adalah daerah hadits dan tempat tinggal para sahabat Nabi.
b. Kelompok Ahli Ra’yi
Golongan ini lebih senang pada pemakaian Ijtihad dan rasio. Hadits-hadits Nabi hanya di pakai untuk beberapa keadaan tertentu. Kalaupun mereka mengambil hadits, maka hadits tersebut mereka teliti secara cermat dan sangat berhati-hati dalam menggunakannya. Mereka lebih cenderung menggunakan akal fikiran, beranalogi, dan memakai metode istihsan, bahkan lebih jauh lagi mereka mengemukakan berbagai problem dan permasalahan secara pengandaian. Tokoh utama golongan ini adalah Imam Abu Hanifah (80-150 H / 699-767 M).
Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit bin Zufi at-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian keluarga dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Beliau dilahirkan di Kuffah pada masa pemerintahan Khalifah Al-Qalid bin Abdul Malik. Predikat Al-Imam Al-Adzham diberikan kepadanya karena keluasan ilmunya. Imam Syafi’i mengatakan “barangsiapa yang belajar Fiqih, maka ia adalah keluarga Abu Hanifah”.[5]
Beliau adalah keturunan Parsi yang lahir di Kuffah, Iraq. Suatu daerah yang jauh dari Hijaz, tempat wahyu turun, tempat timbulnya hadits dan tempat tinggal para sahabat Nabi.
Para ahli fiqih di wilayah ini (Kuffah) lebih banyak mengenal hadits dari fuqaha lainnya, sehingga Abu Hanifah terkadang menolak atau menyangsikan baik perawi maupun jalur riwayatnya. Inilah sebabnya mengapa Abu Hanifah lebih cenderung memakai akal dan Ijtihad. Menurut suatu riwayat Abu Hanifah mengatakan “kami tahu ini adalah pendapat, ia mungkin lebih baik dari pendapat kami, siapa saja yang mampu berpendapat lain, ia boleh memegang pendapatnya, kami juga berhak atas pendapat kami”, katanya pula : “apabila saya tidak mendapatkan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul, maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi dan tidak boleh beralih kepada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sudah sampai kepada Ibrahim, Al-Sya’bi, Hasan, Ibnu Sirrin, Atha’, dan Said Ibnu Musayyab, maka saya berhak pula berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.[6]
Kebudayaan dan peradaban masyarakat Kuffah pun menjadi salah satu faktor mengapa Abu Hanifah banyak menggunakan Ijtihad dan akal fikiran. Penduduk Kuffah sering dihadapkan pada berbagai persoalan hidup berikut problematikanya yang beraneka ragam. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut para fuqoha Kuffah terpaksa memakai ijtihad dan akal.
Selain itu Abu Hanifah adalah seorang ulama’ yang tidak hanya bergumul dengan ilmu-ilmu agama saja. Beliau adalah ulama’ ahli ilmu kalam (Teologi), beliau juga mahir dalam bidang perdagangan. Keluasan ilmu yang beliau miliki inilah yang menjadikannya seorang rasionalis.
c. Kelompok Moderat
Golongan ini berada diantara dua golongan sebelumnya. Tokoh utama golongan ini adalah Imam Syafi’i (150-204 H / 769-820 M).
Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Syafi’i dilahirkan dalam keluarga Arab yang miskin di daerah Ghazza, Palestina. Beliau keturunan Quraisy dan bertemu nasabnya dengan Rasulullah SAW dan dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i.
Beliau adalah ulama’ yang melakukan kompromi antara Fiqih ahli hadits dan Fiqih ahli ra’yi. Mula-mula beliau tinggal di tengah masyarakat Mekkah lalu berpindah ke Madinah. Keduanya berada di Hijaz, bumi Sunnah dan Hadits dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana hingga relatif tak banyak timbul problem kemasyarakatan. Maka wajar sekali jika Imam Syafi’i lalu cenderung pada aliran Ahli hadits, bahkan mengaku sebagai pengikut Mazhab Maliki, karena beliau memang belajar kepada Imam Malik. Tetapi setelah ia mengembara ke Baghdad, Iraq, dan menetap disana untuk beberapa tahun serta mempelajari Fiqih Abu Hanifah, maka mulailah beliah condong kepada aliran rasional ini. Apalagi setelah beliau saksikan sendiri bahwa tingginya tingkat kebudayaan di Iraq sebagai daerah perkotaan menyebabkan aneka macam masalah hidup berikut keruwetanna. Tidak hanya itu, beliau juga mempelajari faham mu’tazilah dan syi’ah.
Pengalaman yang diperolehnya dari berbagai aliran fiqih membuatnya berwawasan luas. Beliau mengkritik letak kekuatan dan kelemahan, luas dan sempitnya pandangan masing-masing mazhab. Mula-mula beliau berbeda pendapat dengan gurunya, Imam Malik, sehingga beliau menulis kitab Khilaf Malik. Tidak hanya itu, beliau juga mengajukan kritik kepada mazhab Hanafi. Dari kritik-kritik terhadap kedua mazhab tersebut itulah akhirnya muncul mazhab baru yang merupakan sintesa antara Fiqih ahli hadits dan Fiqih ahli ra’yi.
d. Kelompok Fundamental
Jika Imam Malik adalah imam kaum tradisionalis, Abu Hanifah imam kaum rasionalis, dan Syafi’i imam kaum moderat, maka imam kaum propagandis gerakan kembala kepada sumber-sumber Islam yang pertama, Al-Qur’an dan Sunnah secara ketat (fundamentalis) adalah Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M).
Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal Al_syaibani, lahir di Baghdad pada bulan Rabiul Awwal tahun 164 H / 780 M.
Mazhab ini muncul sebagai reaksi yang wajar terhadap sikap-sikap keterlaluan sebagian aliran Islam seperti Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah dan Murji’ah.
Mu’tazilah misalnya, berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Faktor inilah yang menyebabkan Ahmad bin Hambal berpegang teguh pada Hadits atau Sunnah. Sikap ini memang berbeda dengan sikap Imam Syafi’i yang melawan penyelewengan Ijtihad dengan memadukan Hadits dengan Ra’yu. Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ijtihad itu sendiri harus dilawan dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Imam-Imam Mazhab yang Terlupakan
Mazhab-mazhab besar yang kita kenal sekarang, kecuali mazhab Ja’fari, membesar karena dukungan penguasa. Mazhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi Qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah : Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Al-Rasyid. Mazhab Maliki berkembang di Khilafah timur atas dukungan Yahya bin Yahya. Di Afrika, Al-Muiz Badiz mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti mazhab Maliki. Mazhab Syafi’i membesar di Mesir ketika Salahuddin al-Ayyubi merebut negeri itu. Mazhab Hambali menjadi kuat pada masa pemerintahan al-Mutawakkil yang tidak akan mengangkat Qadhi kecuali dengan persetujuan Imam Ahmad.
Bila para pengikut mazhab lemah dan tidak berwenang memberi fatwa, maka orang tidak ingin mempelajari mazhabnya. Lalu mazhab itupun hilang setelah beberapa lama. Beberapa mazhab yang hilang itu adalah :
a. Mazhab Al-tsauri, tokoh mazhab ini adalah Abu Abdullah Sufyan bin Masruq al-Tsauri. Lahir di Kuffah tahun 65 H, wafat jdi Bashrah tahun 161 H. Pahamnya diikui orang sampai abad IV H.
b. Mazhab ibn ‘Uyaiynah. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Sufyan ibnu Uyaiynah. Wafat tahun 198 H. Mazhabnya diamalkan sampai abad IV H, tetapi setelah itu hilang karena tidak ada dukungan penguasa.
c. Mazhab Al-Awza’iy. Pendirinya adalah Abdurrahman bin Amr Al-Awza’iy. Imam penduduk Syam. Mazhabnya tersisih hanya ketika Muhammad bin Usman dijadikan Qadhi di Damaskus dan memutuskan Hukum menurut Imam Syafi’i . mazhabnya diamalkan sampai tahun 302 H.
Dan lain-lain.[7]
4. Pengaruh Terhadap Perkembangan Hukum Islam
Munculnya mazhab-mazhab Fiqih Islam di mulai dengan tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, memiliki ketertarikan sejarah yang panjang dan tidak dapat di pisahkan antara satu dengan yang lainnya.[8]
Munculnya ulama’ besar pendiri mazhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat studi tentang fiqih. Yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama’ mazhab ketika menghadapi masalah hukum, sehingga pemerintah merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya. Perbedaan pendapat di kalangan muslim awam tentang masalah politik seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut memberi saham bagi munculnya berbagai mazhab hukum Islam.[9]
Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisionalismej telah melahirkan mazhab-mazhab fiqih Islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa fiqih tersendiri, dan mempunyai pengikut dari berbagai lapisan masyarakat sehingga munculnya mazhab-mazhab fiqih Islam turut mewarnai perkembangan Hukum Islam.
C. Kesimpulan
Dari ulasan ringkas diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Perbedaan pendapat dalam masalah furu’ merupakan kemestian, Rahmat, dan keleluasaan yang tidak dapat dihindari.
2. Munculnya mazhab-mazhab dalam Fiqih Islam memberikan warna baru bagi lahirnya hukum-hukum Islam dalam menyelesaikan persoalan hidup yang semakin kompleks.
3. Meninggalkan fanatisme individu, mazhab dan golongan merupakan suatu yang patut di pertimbangkan dalam menciptakan kerukunan dalam masyarakat dan senantiasa berprasangka baik serta tidak saling mencela.
DAFTAR PUSTAKA
Faruq Abu Zaid. Al-Syariat Al-Islamiyah Hayn Al-Muhafizhin wa al-mujahidin. Dar el-mawqif el-araby. Mesir. Terjemah : Husein Muhammad. Cet.1. PT. Temprint. Jakarta. 1986.
Fathurrahman, Djamail. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logo Wacana Ilmu. 1997.
Leviyamani.blogspot.com
M. Said Ramadhan al-Buthi. Mazhab Tanpa Mazhab. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2001.
Muhammad Jawad Mughniyyah. Al-Fiqh ‘ala al-mazhab al-khamsah. Masykur dkk. PT. Lentera Basritama. Jakarta. Cet.8. 2002.
Mun’im A. Sirry. Sejarah Fiqih Islam. Islamabad : Risalah Bush. 1995.
Yusuf Al-Qardhawi. Fiqih Perbedaan Pendapat. Rabbani Press. Jakarta. 2007.
[1] Faruq Abu Zaid. Al-Syariat Al-Islamiyah Hayn Al-Muhafizhin wa al-mujahidin. Dar el-mawqif el-araby. Mesir. Terjemah : Husein Muhammad. Cet.1. PT. Temprint. Jakarta. 1986. Hal.4
[2] Ibid
[3] Muhammad Jawad Mughniyyah. Al-Fiqh ‘ala al-mazhab al-khamsah. Masykur dkk. PT. Lentera Basritama. Jakarta. Cet.8. 2002. Hal. XXVII
[4] Faruq Abu Zaid. Op Cit. Hal.20
[7] Leviyamani.blogspot.com
[8] Mun’im A. Sirry. Sejarah Fiqih Islam. Islamabad : Risalah Bush. 1995. Hal. 76
[9] Fathurrahman, Djamail. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logo Wacana Ilmu. 1997. Hal.9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar