Laman

Cari Blog Ini

Sabtu, 16 Juli 2011

Indikator Keberhasilan dan Kegagalan Hukum Perjanjian dan Akad Transaksi syariah di Indonesia

INDIKATOR KEBERHASILA DAN KEGAGALAN
HUKUM PERJANJIAN DAN AKAD TRANSAKSI SYARIAH
DI INDONESIA
Oleh : Mustofa Khoyalim

 A.    Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi Islam di Indonesia dapat dilihat dari maraknya transaksi bisnis yang mewarnainya.  Hal ini yang akhirnya menciptakan variasi bisnis yang menuntut para pelaku bisnis untuk dapat saling bekerja sama. Dalam pergaulan hidup, setiap manusia memiliki kepentingan dengan yang lainnya. Sehingga timbullah apa yang disebut sebagai hak dan kewajiban. Hubungan antara hak dan kewajiban ini diatur dalam pedoman hukum yang berlaku. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya berbabai bentrokan kepentingan yang ada. Dalam Islam pedoman hukum yang mengatur masalah hak dan kewajiban dalam bermasyarakat disebut sebagai hukum mu’amalat yang termasuk didalamnya adalah hukum perjanjian.

Dalam hukum Islam kontenporer digunakan istilah iltizam untuk menyebut perikatan (verbintenis) dan istilah akad untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan bahkan untuk menyebut kontrak (contract).[1] Meski telah ada pranata yang mengatur hubungan mu’amalah manusia, tidak jarang masih banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang mengakibatkan gagalnya hukum perjanjin maupun akad transaksi khususnya yang terjadi di Indonesia.
Dalam makalah singkat ini pemakalah akan berusaha memaparkan tentang indikator keberhasilan dan kegagalan hukum perjanjian dan akad transaksi di Indonesia sebagi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bisnis dengan menggunakan “kacamata” Islam.
Pemakalah juga menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Karenanya masukan dari para pembaca sangat pemakalah harapkan demi perbaikan makalai ini. Dan tak berlebihan kiranya pemakalah berharap semoga makalah ini dapat member manfaat bagi siapa saja yang berkenan membacanya. Dan dengan kerendahan hati pemakalah memohon maaf atas segala kesalahan serta hanya kepada Allah jualah pemakalah menggantungkan kebenarannya. Wallahu a’lam.

B.     Pembahasan
1.    Definisi
a.    Indikator
Terdapat banyak literatur yang menyebutkan tentang definisi indikator. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
-       Indikator adalah variabel yang membantu kita dalam mengukur perubahan-perubahan yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung.
-       Indikator adalah variabel-variabel yang mengindikasi atau memberi petunjuk kepada kita tentang segala sesuatu keadaan tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengukur perubahan.[2]
Dari definisi diatas indikator dapat diartikan sebagai sesuatu yg dapat memberikan (menjadi) pe-tunjuk atau keterangan: seseorang yg akan melakukan suatu pekerjaan sebaiknya menggunakan -- yg sudah ada; kenaikan harga dapat menjadi -- adanya inflasi; kejujuran seseorang dapat menjadi -- keberhsilan akad transaksi.

b.      Makna Keberhasilan dan Kegagalan dalam Islam
Dalam Islam pemaknaan keberhasilan atau kegagala tidak dapat diartikan hanya menggunakan “kaca mata” duniawi atau ukhrowi semata. Akan tetapi pemaknaan kesuksesan atau keberhasilan maupun kegagalan harus dipandang melalui dua-duanya.
Dengan kata lain yang perlu kita sadari bersama bahwa indikator kesukesan dalam pandangan ajaran Islam bukan semata-mata pada aspek materi dan bukan pula sebaliknya hanya pada aspek rohani. Bukan pula pada aspek hablumminallah saja dengan mengabaikan hablumminannas atau sebaliknya, akan tetapi keseimbangan antara keduanya (tawazun) saling melengkapi dan saling mengisi. Indikator kesuksesan yang bersifat tawazun ini, antara lain, seperti diungkapkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Mukminun: 1-11.
Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum perjanjian maupun akad transaksi dapat dikatakan berhasil jika dapat mendatangkan kemanfaatan dunia dan akhirat. Dan sebaliknya jika keduanya tidak mendatangkan kebahgiaan dunia dan akhirat secara beriringan walaupun hanya salah satu yang tercapai maka itu belum dapat dikatakan berhasil.

c.       Perjanjian dan Akad Transaksi
Perjanjian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-’aqd yang berarti perikatan, perjanjian, permufakatan. Secara terminologi fiqh akad didefinisikan dengan : ”Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan
Pencantuman kalimat ”dengan kehendak syariat” maksudnya adalah seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain.
Sedangkan pencatuman kalimat ”berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya terjadi perpindahan pemilikan/hak dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang melakukan qabul).[3]

2.      Indikator Keberhasilan dan Kegagalan Hukum Perjanjian dan Akad Transaksi Syariah di Indonesia.
Terdapat berbagai sumber yang menyebutkan tentang persyaratan yang harus dipenuhi dalam menggambarkan indikator. Syarat yang paling utama adalah ketepatannya dalam menggambarkan atau mewakili (mempresentasikan) informasinya. Sehingga dalam menentukan indikator harus mempertimbangkan persyaratan yang telah dirumuskan dalam istilah Inggris, yang dapat disingkat menjadi SMART. Yaitu Simpel (sederhana), Measurable (dapat diukur), Atributable (bermanfaat), Reliable (dapat dipercaya), Timely (tepat waktu).
Dari pemaparan diatas maka indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan dan kegagalan hukum transaksi dan akad perjanjian khususnya di Indonesia adalah:

a.      Tuhaniyah (keTuhanan)
Esensi dasar yang terkandung dalam kegiatan ekonomi tidak terlepas dari nilai ibadah dalam makna yang luas. Ekonomi Islam adalah ekonomi ”Langit” karena bertitik berangkatnya dari Allah, dengan tujuan mencari ridha Allah, dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Termasuk didalamnya hukum perjanjian dan akad transaksi yang dilakukan selalu berdasar pada ketentuan-ketenyuan ”Langit”. Sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 15 yang artinya :

”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.

Yusuf Qardhawi dalam Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishodil Islami menyebutkan bahwa dalam nilai ketuhanan mengandung derivasi nilai:
-          Keimanan/Aqidah (QS. Al-Baqarah : 29) :
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 29).

-          Ibadah (QS.al-Mulk : 15) :
Artinya : ”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”(QS.al-Mulk : 15).

-          Syariah (QS. Al-Nisa’ : 29) :
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu .. .” (QS. Al-Nisa’ : 29)
-           Tazkiyah (halal-thayyib) (QS. Al-Baqarah : 168) :
Artinya : ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi . . . ” (QS. Al-Baqarah : 168)

-          Pemilikan mutlak. (QS. al-An’am : 152) :
Artinya : “ dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. al-An’am : 152)

Dari derivasi nilai ketuhanan diatas dapat ditetapkan indikator negatif yang dapat menunjukan kegagalan hokum perjanjian dan akad transaksi adalah atheisme dan sekulerisme.

b.      Khilafah (kepemimpinan)
Selain nilai ketuhanan nilai selanjutnya yang dapat dijadikan indikator dalam menilai apakah hukum perjanjian dan atau akad transaksi dapat dikatakan berhasi atau gagal adalah dengan melihat nilai khilafah yang di emban oleh manusia.
Dalam mengukur keberhasilan dan kegagalan hukum perjanjian dan atau akad transaksi dalam Islam dapat diukur dari segi kemampuan seorang dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin yang didalamnya mengandung derivasi nilai (prinsip) akhlakul karimah/ etika, senantiasa memperhatikan aspek insaniyah (sosial), ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (saling membantu), profesionalitas dan pertanggungjawaban.
Dalam tataran negatif dari nilai khilafah ini dapat ditarik indikator dalam mengukur kegagalan hukum perjanjian dan atau akad transaksi adalah individualisme dan free competition.

c.       Keadilan
Dalam QS. Al-Hadid ayat 25 disebutkan bahwa Allah berfirman yang artinya : ”Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Selain itu disebut pula dalam QS. Al-a’raf ayat 29 yang artinya : ”Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”. Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.[4]
Dari kedua ayat diatas menunjukkan bahwa indikator selanjutnya yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan hukum perjanjian dan akad transaksi. Dari sini pula dapat ditemukan indikator negatif yang dapat menentukan kegagalannya yaitu adanya kedzaliman, diskriminasi, riba, gharar, maisir dan tadlis.[5]

d.      Tawazun (keseimbangan)
Islam adalah agama pertengahan Islam tidak menginginkan kelebihan, Islam juga tidak membiarkan kekurangan. Islam menganjurkan posisi tawazun (keseimbangan). Dalam kitab-Nya Al-Qur’an, Allah telah menjelaskan :
Artinya : ”...yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang? kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah.”(QS. Al-Mulk : 3-4)

Dalam pandangan Islam, keberagaman harus diseimbangkan agar menghasilkan tatanan sosial yang baik, sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Al-Qamar : 49 yang artinya : ”sesungguhnya Kami telah menciptakan segala sesuatu berdasarkan ukurannya,”.
Makna keseimbangan sosial tidaklah dalam makna yang statis, melaikan lebih bersifat dinamis yang senantiasa mengarahkan segala kekuatan untuk menentang segenap ketidak adilan.  Dengan demikian indikator negatif sebagai pengukur kegagalan hukum perjanjian dan atau akad transaksi adalah dengan terpeliharanya nilai-nilai hedonisme, materialisme, individualisme, komunisme dan konsumerisme.[6]
e.       Mabda’ ar-rada’iyyah (konsensualisme/kerelaan)
Dalam QS. Al-Nisa’ ayat 29 Allah telah menegaskan yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu .. .” sehingga untuk menilai keberhasilan hukum perjanjian dan atau akad transaksi dilihat dari ada tidaknya kerelaan antara pihak yang berkontrak. Tidak dibenarkan adanya tekanan, paksaan, dan penipuan.

f.       Kitabah (tertulis)
Suatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila dikemudian hari terjadi persengketaan.[7] Dalam QS. Al-Baqarah :282-283 dapat difahami bahwa Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk menulis suau perikatan yang dilakukan.

g.      Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian harus mendatangkan manfaat dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar.

C.    Kesimpulan
Dari paparan-paparan terdahulu, sebagai penutup perlu dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1.      Dalam menilai dan mengukur keberhasilan dan kegagalan hukum perjanjian dan akad transaksi syariah di Indonesia dapat diukur dengan menilai asas-asas perjanjian yang dapat di klasifikasikan kedalam 7 indikator.
2.      Secara garis besar ke-7 indikator yang dapat digunakan adalah asas Tuhaniyah, asas Khilafah, asas Tawazun, asas Keadilan, asas Kitabah, asas Mabda’ ar-Radhaiyah, asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan.
3.      Dalam sistem Ekonomi Islam keberhasilan tidak hanya berarti perjanjian memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian, akan tetapi harus memiliki kemanfaatan bagi lingkungan sekitar.

Daftar Pustaka

Arif Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia Aplikasi dan Prospektifnya, , Bogor : Ghalia Indonesia, 2007.

Departemen Kesehatan RI, Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten Kota Sehat : Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 1202/Menkes/SK/VIII/2003, Jakarta : Departemen Kesehatan, 2003.

Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Pranada Media Group, 2006.

Muhammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta : CV. Rajawali, 1990.

Nasrun Harun, Fiqh Muamalat, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah : Study tentang Teori Akad dalam fiqih Mu’amalah, Jakarta : Rajawali Persada, 2007.


[1] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah : Study tentang Teori Akad dalam fiqih Mu’amalah, (Jakarta : Rajawali Persada, 2007), h. 47
[2] Departemen Kesehatan RI, Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten Kota Sehat : Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 1202/Menkes/SK/VIII/2003, (Jakarta : Departemen Kesehatan, 2003), h. 12
[3] Nasrun Harun, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 97
[4] Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,  (Jakarta : Kencana Pranada Media Group, 2006), Cetakan ke-2, h. 33
[5] Arif Hamid, Loc.cit.
[6] Arif Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia Aplikasi dan Prospektifnya, , (Bogor : Ghalia Indonesia, 2007), Cetakan ke-1, h. 70
[7] Muhammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta : CV. Rajawali, 1990), h. 124

Tidak ada komentar:

Posting Komentar