Laman

Cari Blog Ini

Kamis, 26 Mei 2011

Embrional Lembaga Keuangan Islam

BAITUL MAL MASA KHOLAFAUR RASYIDIN 
oleh : Mustofa Anwar
A.      Pendahuluan
Memperbincangkan masalah ekonomi, serasa tiada habisnya. Termasuk ketika memperbincangkan masalah ekonomi Islam. Meski terkesan terlambat (dibandingkan dengan sistem ekonomi lain : sosialis, liberalis maupun kemakmuran). Namun, sesungguhnya sistem ekonomi Islam (berlandaskan norma dan etika Tuhaniyah) telah lama dipraktekkan dalam keseharian umat Islam.
Diantaranya yaitu, adanya baitul mal[1] pada masa awal Islam (masa Rasul saw) dapat dikatakan sebagai embrional lahirnya Lembaga Keuangan pada jaman ini. Jika pada masa Rasul saw baitul mal sebagai satu-satunya lembaga keuangan yang ada pada masa itu lahir dan dilator belakangi oleh adanya motif social spiritual. Namun, dalam perkembangannya untuk memenuhi “hasrat” manusia yang tidak pernah terpuaskan, fungsi dan motif lembaga keuangan mengalami perubahan yang semula berorientasi pada social spiritual menjadi profit oriented dan mengenyampingkan sisi-sisi social spiritual-nya.

Dalam makalah ini penulis akan mencoba untuk menggali dan memaparkan dengan jujur (mengungkap fakta-fakta yang ada) mengenai perkembangan baitul mal pada masa sahabat khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin. Bagaimana Khulafaur Rasyidin mengawal baitul mal menjadi sebuah lembaga yang dapat mengayomi semua umat.
Dalam penulisan dan penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah yang ada ditangan pembaca, masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu besar harap penulis akan adanya masukan demi perbaikan di kemudian hari. Dan tidak berlebihan kiranya penulis berharap pada Allah swt untuk memberikan manfaat dari tulisan ini bagi siapa saja yang berkenan membacanya.

B.     Baitul Mal Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1.      Masa Abu Bakar al-Sidiq (11-13 H / 632-634 M)
Abu Bakar As-Sidiq adalah orang yang paling awal memeluk agama Islam (assabiqunal awwalun), sahabat[2] Rasullullah Saw., dan juga khalifah pertama yang dibaiat (ditunjuk) oleh umat Islam. Beliau lahir bersamaan dengan tahun kelahiran Nabi Muhammad Saw. pada 572 Masehi di Mekah, berasal dari keturunan Bani Taim, suku Quraisy. Nama aslinya adalah Abdullah ibni Abi Quhaafah.[3]
Diketahui bahwa baitul mal bukanlah suatu lembaga baru di masa pemerintahan Abu Bakar, ia telah ada sejak masa Rasul saw. Perlu diketahuipula bahwa persoalan utama yang dihadapi Abu Bakar dimasa awal pemerintahannya adalah pembangkang membayar zakat, para nabi palsu dan orang-orang murtad (riddah).[4]
Sehingga peran baitul mal pada masa awal pemerintahan beliau tidak berbeda sebagaimana yang terjadi pada masa Rasul saw. Jika datang harta kepadanya dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Sesuai dengan hadits Nabi saw : ‘Rasulullah SAW tidak pernah menyimpan harta baik siang maupun malamnya…‘. Untuk urusan ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah.[5]
Kemudian pada tahun kedua kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar mendirikan embrio Baitul Mal. Baitul Mal bukan sekedar berarti pihak (al jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya -berupa karung atau kantung (ghirarah)- untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M.

a.      Kebijakan Ekonomi Kholifah Abu Bakar
Terdapat beberapa kebijakan ekonomi secara umum yang dikeluarkan oleh Khalifah Abu Bakar diantaranya adalah :
1)      Menetapkan praktek akad-akad perdagangan yang sesuai dengan syariah.
2)      Menegakkan hukum dengan memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat
3)      Tidak menjadikan ahli badar (orang-orang yang berjihad dijalan Allah) sebagai pejabat Negara
4)      Tidak mengistimewakan ahli badar dalam pembagian kekayaan Negara
5)      Mengelola barang tambang (rikaz) yang terdiri dari emas, perak, perunggu, besi, dan baja sehingga menjadi sumber pendapatan Negara.
6)      Menetapkan gaji para pegawai berdasarkan karakteristik daerah kekuasaan masing-masing
7)      Tidak merubah kebijakan Rasulullah saw dalam masalah jizyah. [6]


b.      Sumber-sumber Pemasukan Bait al-Mal masa Abu Bakar

Adapun sumber-sumber pemasukan baitul mal pada masa Abu Bakar pun tidak berbeda jauh dengan yang terjadi pada masa Rasul saw, diantaranya : Fai’ ialah harta yang diperoleh kaum muslimin dari musuh dalam peperangan tanpa melalui peperangan[7] (semua harta yang ditinggalkan orang kafir dan tentara musuh sebelum mereka diserang pasukan Islam).[8] Ghanimah ialah harta yang diambil alih oleh kaum muslimin dari musuh mereka ketika dalam peperangan; disebut juga rampasan perang,[9] Jizyah ialah biaya yang dibebankan kepada non muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer.[10] Kharaj Ialah pajak tanah yang dipungut dari non muslim, jumlah kharaj tetap yaitu setengah dari hasil produksi.[11]
Dan beberapa pendapatan sekunder seperti : Khumus atas Rikaz ialah harta yang terpendam (harta karun) dalam perut bumi, baik berupa emas, perak, permata, dan lain-lain, ataupun yang tersimpan dalam guci-guci dan tempat-tempat lainnya dari zaman jahiliyah maupun zaman Islam pada masalalu.[12] Amwal Fadhla ialah harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya.[13] Wakaf ialah harta benda yang didedikasikan kepada umat islam yang disebabkan karena Allah. Nawaib ialah pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat. Ushr ialah bea impor yang dikenakan pada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam satu tahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Zakat,[14]  Kafarat (denda atas kesalahan yang dilakukan seorang muslim pada acara keagamaan seperti berburu pada musim haji. dan Shadaqah lain.[15]
c.       Penerapan Prinsip Persaman dalam Distribusi Kekayaan Negara
Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya.
Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa :
“Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dari Baitul Mal.”[16]

Demikian pula dalam hal pendistribusian kekayaan Negara, abu Bakar sangat hati-hati dalam mengambil kebijakan. Beliau berpendapat bahwa perinsip persamaan dalam pendistribusian adalah hal yang paling tepat jika dibandingka dengan memberikan pengistimewaan kepada umat Islam tertentu.
Abu Bakar mengikuti cara Rasul saw dalam mengeluarkan pendapatan yang berasal dari zakat. Beliau membagikannya dalam jumlah yang sama kepada seluruh sahabat nabi, dan tidak membedakan antara kaum muslim terdahulu dan mualaf. Meskipun Umar dan sahabat yang lain bahwa kaum muslimin terdahulu harus diberi keistimewaan dari kaum mualaf. Abu Bakar menjawab, “Aku sadar sepenuhnya tentang keunggulan dan keistimewaan orang-orang yang engkau sebutkan; semua itu akan dibalas oleh Allah SWT. Tetapi ini adalah masalah kebutuhan hidup, yang menurutku perinsip persamaan lebih baik daripada prinsip pengistimewaan.”[17]

2.      Masa Umar bin Khatab[18] (13-23 H/634-644 M)
a.      Kebijakan Ekonomi Umar bin Khatab
Setelah Abu Bakar wafat dan Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Mal. Ternyata Umar hanya mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya.
Akan tetapi setelah penaklukan-penaklukan (futuhat) terhadap negara lain semakin banyak terjadi pada masa Umar dan kaum muslimin berhasil menaklukan negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah. Oleh karena itu, Umar lalu membangu­n sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta, membentuk diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para penulisnya, menetapkan gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang. Kadang-kadang ia menyimpan seperlima bagian dari harta ghanimah di masjid dan segera membagibagikannya.
Dalam priode Umar bin Khatab, beliam mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi diantaranya :
1)        Melakukan sistemasi dalam pemberlakuan pungutan jizyah kepada ahlu dzimah
2)        Menghentikan pemberian zakat kepada muallaf
3)        Restrukturisasi sumber dan system ekonomi baru yang belum pernah ada dalam Islam
4)        Memungut zakat atas kuda yang oleh Rasulullah saw dibebaskan dari zakat
5)        Membentuk dewan-dewan, baitul mal, membuat dokumen-dokumen Negara, dan merancang system yang mampu menggerakkan ekonomi, baik produksio maupun distribusi
6)        Tidak mendistribusikan tanah taklukan di Irak kepada para prajurit, dan membiarkannya sebagai amanah
7)        Menambah pemasukan keuangan Negara dari banyaknya ghanimah atas kemenangan perang.[19]

b.      Sumber Pemasukan dan Pengeluaran Bait al-Mal Masa Umar
Quthb Ibrahim Muhammad mengklasifikasikan pengeluaran Baitul mal (anggaran negara), berdasarkan pemasukannya, menjadi 4 kalsifikasi:
1        Harta yang berasal dari zakat dimanfaatkan untuk membantu kaum fakir, miskin, ‘amil zakat, mu’allaf, budak, gharim, fi sabilillah, dan ibnu sabil. Harta zakat juga dapat dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek umum demi kepentingan fakir miskin, seperti pembangunan rumah sakit atau sekolah untuk pengobatan dan sekolah gratis begi mereka.[20]
2        Harta yang berasal dari 1/5 harta ghanimah, selain dimanfaatkan untuk anak yatim, fakir dan ibn sabil, juga dapat dimanfaatkan untuk membeli kendaraan dan peralatan perang, khususnya setalah Rasul meninggal.
3        Harta Baitul mal yang berasal dari barang temuan (rikaz) dan peninggalan yang tidak ada ahli warisnya, khusus digunakan untuk kemashlahatan kaum fakir miskin, seperti bantuan cuma-cuma atau proyek untuk kepentingan umum.
4        Harta Baitul mal yang berasal dari sumber pemasukan jizyah, kharaj dan ‘usyur dapat dibelanjakan untuk gaji para pegawai, pendanaan untuk instansi pemerintah dan persediaan dana dalam keadaan darurat.[21]
c.       Perinsip Pengistimewaan Pendistribusian Kekayaan Negara
Berbeda dengan Abu Bakar, jika pendistribusian kekayaan Negara pada masa abu Bakar dilakukan secara merata tanpa ada pembedaan golongan, maka pada masa pemerintahan Umar bin Khatab, beliau menggantinya dengan melakukan pembedaan dengan cara memberikan pengistimewaan kepada sahabat nabi dan kaum Uslam terdahulu.
Akan tetapi diakhir hidupnya, Beliau melihat bahwa terdapat ketidak seimbangan ekonomi yang dikarenakan kebijakan yang dikeluarkannya. Oleh karena itu beliau berkata : “Jika saja saya masih hidup tahun depan, saya pasti akan menempatkan kedudukan orang-orang muslim pertama dan yang datang kemudian dalam tingkat yang sama serta member mereka semua jaminan dan penghargaan yang sama pula.”[22]

3.      Masa Usman bin Affan[23] (23-35 H/644-656 M)
Usman adalah seorang yang jujur dan saleh, tetapi sangat tua dan lemah lembut. Dia adalah seorang dari beberapa orang terkaya diantara sahabat nabi saw. Kekayaannya membantu terwujudnya Islam dibeberapa peristiwa penting dalam sejarah. Pada awal pemerintahannya, Usman hanya melanjutkan dan mengembangkan kebijakan yang telah diterapkan khalifah umar bin khatab.
Kondisi yang sama (seperti masa Umar) juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dari keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az- Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya.
Kebijakan Ekonomi Utsman bin Affan
Pada masa kepemimpinanya, kebijakan –kebijakan ekonomi yang diambil oleh Utsman bin affan adalah :
a.       Mempertahankan system pendistribusian berdasarkan prinsip pengistimewaan sebagaimana dilakukan khalifah sebelumnya.
b.      Menaikkan dana pension sebesar 100 dirham dan memberikan ransum tambahan berupa pakaian.
c.       Membebankan zakat atas harta terpendam
d.      Menggunakan dana zakat untuk membiayai perang atau pembiayaan lainnya. Karena menganggap bahwa shadaqah bukan merupakan sumber devisa dan pendapatan Negara.[24]

4.      Masa Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Ia diangkat jadi khalifah (24 Zulhijjah 34 H) lima hari setelah meninggalnya Utsman. Masa pemerintahannya adalah masa-masa paling sulit dalam periode khalifah rasyidin. Ia harus berhadapan dengan tiga pemberontakan sahabat Rasul yang awalnya membai’atnya (Thalhah, Zubair dan anaknya, Abdullah bin Zubair) dan pengacauan terencana Mu’awiyah, yang ingin mempertahankan kekuasaan bani Umayyah.
Ali bin Abi Thalib memerintah selama 4 tahun 9 bulan dan 8 hari. Selama 35 tahun seblum menjabat khalifah (masa kekhaliafahan Abu Bakar, Umar dan Utsman), ia menjalani hidup yang sangat terpencil dari kekuasaan. Ketika Abu Bakar dan (lebih sering) Umar jadi khalifah, ia selalu bersedia diajak bermusyawarah dan memberikan pendapat, kalau diminta, tentang berbagai persoalan umat Islam, walau ia dan bani Hasyim tidak pernah diberi jabatan terhormat dalam kekhalifahan.
Ia tidak melakukan perubahan terhadap kebijakan yang dilakukan Umar, malahan ia menyatakan di depan penduduk Najran bahwa: “Umar adalah seorang pemimpin yang cerdas, karenanya Saya tidak akan merubah hal-hal yang telah ditetapkannya”. Tapi ia melakukan beberapa perubahan terhadap kebijakan Usman, seperti penggantian gubernur dan penarikan pemberian-pemberian khusus yang dilakukan pada masa Usman. Di mesir ia meng-ganti Ibn Abi Sarh dengan Muhammad bin Abu Bakar yang kemudian diganti-kan Qais bin Said bin ‘Ubadah, mengangkat Sahl bin Hunaif di Syam meng-gantikan Mu’awiyah, Utsman bin Hunaif di Bashrah menggantikan Abdullah bin ‘Amir, ‘Imarah bin Syihab di Kufah menggantikan Abu Musa al-Asy’ariy, ‘Ubaidillah bin ‘Abbas di Yaman menggantikan Ya’la bin Munabbih. Yang menjadi gubernur Makkah tetap Abdullah bin al-Hadhramiy.[25]
Ali adalah orang yang sangat sederhana dan sangat ketat dalam menjalankan keuangan Negara. Untuk itu dalam pengelolaan, khususnya pengeluaran, kekayaan Baitul mal, minimal harus memperhatikan beberapa kaidah berikut :
a.       Manfaat kekayaan Baitul mal tersebut harus ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau golongan.
b.     Pembelanjaan umum ditetapkan melalui sebuah perencanaan sebelumnya.
c.     Perencamaam dam pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan keabsahan rencana tersebut dari kacamata syar’i.
d.    Penggunaannya harus sesuai dengan rencana (kadar) yang diperlukan.[26]
Penetapan kaidah tersebut didasarkan pada nash-nash yang mengarahkan hal tersebut. Kepentingan rakyat yang dimaksud pada kaidah pertama mencakup semua rakyat yang berada di dalam kekuasaan Islam, termasuk Ahli Kitab dan kafir zimmiy, selama mereka mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini ditegaskan Allah di dalam surat Al-Mumtahanah (60) ayat 8.
Sedangkan secara umum kebijakannya dapat digambarkan sebagai berikut :
a.       Mengedepankan prinsip pemeratan dalam pendistribusian kekayaan Negara kepada masyarakat
b.      Menetapkan pajak terhadap para pemilik kebun dan mengizinkan pemungutan zakat gterhadap sayur segar
c.       Pembayaran gaji pegawai dengan system mingguan
d.      Melakukan kontrol pasar dan memberantas pedagang licik, penimbun barang, dan pasar gelap
e.       Aturan kompensasi bagi para pekerja jika mereka merusak barang-barang pekerjaannya.
C.    Kesimpulan
Dari Pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa :
  1. Dalam sejarah Islam baitul mal adalah satu-satunya lembaga keuangan yang ada pada waktu itu, baitul mal memiliki peran yang sangat fital dalam pengumpulan dan pendistribusian keuangan Negara.
  2. Sejarah menyebutkan bahwa Khulafaur Rasyidin telah memberikan contoh secara langsung bagaimana pengelolaan dana baitul mal dengan sangat hati-hati dan lebih mementingkan kemaslahatan serta kesejahteraan umat dari pada mementingkan kesenangan individu dan keluarga dengan didasarkan pada Wahyu Allah.
  3. Dalam perkembangannya, optimalisasi baitul mal pada masa khulafaurrasyidin dilakukan dengan perluasan daerah kekuasaan dan menambah obyek zakat. Sedang dalam hal pendistribusian terdapat dua metode yaitu denngan prinsip persamaan (Abubakar dan Ali) dan prinsip pengistimewaan (Umar dan Utsman).

DAFTAR PUSTAKA

Afzalurraahman, Muhammad Seorang Pedagang (trj), Jakarta, Yayasan Swarna Bhumy, 1995

A A Karim, Bunga Rampai Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakata : IIIT, 2001

Karnaen A. Perwataatmadja, Anis Byarwati, Jejak Rekam Ekonomi Islam (Refleksi Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhilafahan), Jakarta, Cicero Publishing, 2008

Zuhri, Muh, Hadits Nabi (Sejarah dan Metodologinya), Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya, 1997







[1]Baitul Mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti rumah, dan al-mal yang berarti harta. Jadi secara etimologis (ma’na lughawi) Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta. Adapun secara terminologis (ma’na ishtilahi), sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam kitabnya Al Amwaal Fi Daulah Al Khilafah, Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak (Arab: al jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran Negara.
[2]“Orang yang pernah berjumpa dengan Nabi saw dengan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam”,  Lihat Zuhri, Muh, Hadits Nabi (Sejarah dan Metodologinya), Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya, 1997, cet. Ke-1, h 37
[3] http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-abu-bakar-as-sidiq.html
[4] http://www.ekisonline.co.cc/2010/05/baitulmal-pada-masa-abu-bakar-573-634-h.html
[6] Karnaen A. Perwataatmadja, Anis Byarwati, Jejak Rekam Ekonomi Islam (Refleksi Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhilafahan), Jakarta, Cicero Publishing, 2008, h. 69
[7] http://halimslank.blogspot.com/2010/01/pengertian-ghanimah-fai-salab.html
[9] Ibid. lihat juga QS. Al-Anfal ayat 41
[10] A A Karim, Bunga Rampai Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakata : IIIT, 2001,  h. 31, Lihat juga QS. al-Taubah (9) ayat 29
[11] Ibid., h. 32
[13] A A Karim, Op. cit., h. 33
[14]  QS al-Taubat ayat 103, QS al- Baqarah ayat 267
[15] A A Karim, Op. cit.
[16] http://faridmaruf.wordpress.com/2007/01/12/baitul-mal-tinjauan-historis-dan-konsep-idealnya/
[17] Afzalurraahman, Muhammad Seorang Pedagang (trj), Jakarta, Yayasan Swarna Bhumy, 1995, h. 108
[18] Beliau lahir di Mekah dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy dengan nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza. Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang.
[19] Karnaen A. Perwataatmadja, Anis Byarwati, Jejak Rekam Ekonomi Islam (Refleksi Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhilafahan), Jakarta, Cicero Publishing, 2008, h. 78
[20]  QS. al-Taubat ayat 60
[21] http://www.ekisonline.co.cc/2010/05/pos-pengeluaran-baitulmal.html
[22] Karnaen A. Perwataatmadja, Anis Byarwati,Op Cit, h. 71
[23] Utsman bin Affan ra. bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwa’i bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin Adnan. Abu Amr, Abu Abdullah al-Quraisy, al-Umawi Amirul mukminin Dzun Nurain yang telah berhijrah dua kali dan suami dari dua orang putri Rasulullah saw. Ibu beliau bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabi’ah bin Hubaib bin Abdusy Syams dan neneknya bernama Ummu Hakim Bidha’ binti Abdul Muththalib paman Rasulullah saw.
[24] Ibid, h.79-84
[25] http://www.ekisonline.co.cc/2010/05/baitulmal-pada-masa-ali-bin-abi-thalib.html
[26] http://www.ekisonline.co.cc/2010/05/pos-pengeluaran-baitulmal.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar