Oleh :
MUSTOFA ANWAR
A. Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai sumber otentik ilahiyah yang menjadi pedoman hidup umat manusia dan mengatur segala aspek kehidupan yang tak usang oleh perkembangan zaman, menunjukan kesakralan dan kemukjizatan Al-Qur’an itu sendiri. Di lain sisi, luasnya cakupan yang diatur dalam Al-Qur’an tidak sebanding dengan banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri, karenanya tidak semua persoalan diatur secara rinci dalam Al-Qur’an, akan tetapi tidak sedikit dari masalah-masalah tersebut yang hanya diatut secara garis besarnya saja.
Disini peran tafsir dan ta’will sangatlah dominan, guna mengetahui makna sesungguhnya yang dimaksud di dalam suatu ayat. Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, yang memiliki kewenangan dalam menafsirkan ayat-ayat Tuhan adalah beliau sendiri, sebagai orang kepercayaan Tuhan. Akan tetapi, ketika Muhammad SAW meninggal dunia dan kekuasaan Islam semakin meluas, dengan demikian interaksi budaya antar suku bangsa yang berbeda tidak dapat dielakkan.
Dengan adanya interaksi budaya tersebut, terjadilah masalah-masalah baru yang belum pernah ada semasa Nabi Muhammad SAW masih hidup. Dan untuk membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an, maka kewenangan penafsiran Al-Qur’an ada pada khulafaur rasyidin, sebagai pewaris ajaran Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau, kemudian tabi’in, hingga pada ulama’ rabbaniyyin. Hal ini berarti bahwa tidak semua orang memiliki kewenangan dalam manafsirkan dan menta’wilkan ucapan Tuhan dalam Al-Qur’an, hanya mereka-mereka yang memiliki kemampuan keilmuan dan memenuhi syarat-syarat tertentulah yang dapat melakukan penafsiran dan penta’wilan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami kandungan suatu ayat.
Dalam makalah ini, dengan mengharap ridha Allah SWT, pemakalah akan membahas seputar tafsir dan ta’wil, apa perbedaan tafsir dan ta’wil, apa saja metode yang digunakan dalam penafsiran suatu ayat, ilmu-ilmu apa yang terkait dalam penafsiran, serta sedikit ulasan mengenai hermeneutika Al-Qur’an.
Akhirnya, tiada gading yang tak retak, oleh sebab itu pemakalah menanti saran dan kritik konstruktif dari sidang pembaca untuk kesempurnaan makalah ini. Hanya kepada Allah SWT jualah pemakalah kembalikan segala urusan. Segala puji bagi-Nya, Rabb seru sekalian alam dan shalawat salam semoga terus dilimpahkan kepada kekasihnya, Muhammad SAW, bersama para keluarganya, sahabat, tabi’in, dan ulama rabbaniyyin, beserta para pengikutnya sampai akhir zaman. Pamakalah juga berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
B. Pembahasan
1. Urgensi Tafsir dan Ta’wil
Istilah tafsir berasal dari kata fassara yang berarti “menjelaskan”, “menerangkan”, “menyingkap”, dan “menampakkan”.[1] Secara khusus berarti penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pemaknaan tafsir dari segi bahasa ini diambil dari firman Allah SWT :
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً ﴿٣٣﴾
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya” (QS. Al-Furqaan : 33)
Adapun pengertian tafsir secara istilah, para ulama’ mengemukakannya secara berbeda-beda, diantaranya menurut Al-Kilabi dalam At-Tashil :
اَلتَّفْسِرُ شَرْحُ الْقُرْاَنِ وَبَيَانُ مَعْنَاهُ وَالاِفْصَاحُ بِمَا يَقْضِيْهِ بِنَصِّهِ اَوْ إِشَارَتِهِ اَوْنَحْوًا
Tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau tujuannya”[2]
Dengan kata lain, tafsir dapat diartikan sebagai suatu hasil usaha manusia dalam upaya memahami nilai-nilai samawi yang terdapat dalam Al-Qur’an. Sementara ta’wil berasal dari kata al-awl (alif-wau-lam) yang artinya kembali.[3]
Pada awalnya, kata ta’wil digunakan sebagai sinonim untuk tafsir dan tetap seperti itu setidak-tidaknya hingga ke masa Thabari. Ini dapat dibuktikan dari judul karya agung beliau Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ayat Al-Qur’an.[4]
Belakangan kata ta’wil berubah menjadi istilah teknis untuk penjelasan kandungan Al-Qur’an, sedangkan tafsir diterapkan untuk penjelasan filologis yang bersifat eksternal terhadap Al-Qur’an.[5]
Sehingga ta’wil dalam tradisi ulama’ muta’akhirin adalah “memalingkan makna lafadzh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada dalil yang menyertainya.[6]
Perbedaan antara tafsir dan ta’wil dapat dilihat sebagai berikut :
a. Pengertian tafsir lebih umum daripada ta’wil.
b. Dalam penafsiran seorang penafsir boleh menyatakan “demikianlah yang dikehendaki Allah SWT”, sejauh terdapat dalil-dalil yang dapat menguatkannya. Sedangkan ta’wil hanya menguatkan salah satu makna yang dimiliki ayat dan tidak boleh menyatakan demikianlah yang dikehendaki Allah SWT”.
c. Tafsir menerangkan makna lafadz melalui pendekatan riwayat, sedang ta’wil melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu) dan berfikir rasional.
d. Tafsir menerangkan makna-makan yang tersurat (bil ibarah) sedangkan ta’wil dari yang tersirat (bil isyarah).
2. Macam-macam Tafsir Ditinjau dari Segi Sumbernya
Pada garis besarnya terdapat tiga macam tafsir, yaitu :
a. Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir bi al-matsur adalah menafsirkan ayat Al-Qur’an, atau riwayat-riwayat dari Sunnah Nabi dan perkataan sahabat maupun tabi’in besar.[7] Tafsir aya dengan ayat merupakan tafsir tertinggi nilainya, karena tafsir Al-Qur’an sendiri adalah tafsir yang langsung menerangkan apa yang Allah SWT kehendaki. Sedangkan tafsir dengan Sunnah merupakan tafsir tingkat kedua, karena Rasulullah dikenal sebagai orang yang mendapat prioritas utama dari Allah SWT untuk menjelaskan ayat-ayat-Nya.
Sedangkan tafsir yang berdasarkan riwayat-riwayat dari sahabat, dikalangan ulama’ dapat diterima, karena mereka mengetahui latar belakang dan suasana di sekitar turunnya Al-Qur’an, dengan syarat penafsiran berdasarkan riwayat yang shahih dan perawinya dipandang sebagai rawi yang adil.
Sementara tafsir yang di hasilkan berdasarkan pendapat tabi’in di perselisihkan kedudukannya di kalangan ulama’. Ada yang menerimanya dan menggolongkannya ke dalam tafsir ma’tsur, lantaran mereka menerimanya dari para sahabat. Adapun yang tidak menerimanya, karena jumlah terbanyak dari tafsir bi al-ma’tsur berasal dari sisipan orang-orang yahudi dan Persi yang zindiq dan dari ahli kitab yang memeluk agama Islam (israilbait).
b. Tafsir bi al-Ra’yi
Berdasarkan pengertian etimologi, ra’yi berarti keyakinan (i’tiqad), analogi (qiyas) dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad.[8]
Dengan demikian, tafsir bi ar-ra’yi (disebut juga tafsir ad-dirayah, sebagaimana didefinisikan Adz-Dzahabi) adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa arab dan metodanya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab an-nuzul, dan nasikh-mansukh.[9]
Dalam menanggapi tafsir bi ar-ra’yi para ulama’ berbeda pendapat. Sebagian membolehkannya dan sebagian menolaknya. Alasan ulam’ yang membolehkannya berdasarkan Firman Allah SWT beriku :
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ ﴿٢٩﴾
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad : 29)
Dan Firman Allah SWT :
....وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً ﴿٨٣﴾
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)” (QS. An-Nisa’ : 83)
Kedua ayat diatas menunjukan kebolehan menggunakan akal pikiran untuk menafsirkan Al-Qur’an sebagaimana ijtihad sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW, beliau bersabda yang artinya :
“Barangsiapa yang berijtihad kemudian keliru, maka baginya satu pahala, dan barangsiapa yang melakukan ijtihad kemudian benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala”
Sedangkan ulama’ yang menolaknya beralasan bahwa :
1. Tafsir bi al-ra’yi adalah mengatakan sesuatu tentang Allah SWT tanpa ilmu, padahal mengatakan sesuatu tentang Allah SWT tanpa ilmu termasuk mengada-adakan, dan tidak beralasan. Firman Allah SWT :
قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٢٣﴾
“Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi" (QS. Al-A’raaf : 23)
2. Secara logika, mereka beralasan bahwa seorang mufasir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad, tidak dapat diyakini ijithadnya itu benar. Ia hanya menduga bahwa ijtihadnya itu benar menurut prasangkanya. Mengatakan sesuatu berdasarkan prasangka tidak dibenarkan.
c. Tafsir Al-Isyari
Yaitu menta’wilkan Al-Qur’an berbeda dengan lahirnya dan hanya tampak bagi orang-orang yang memiliki ilmu ladunni, atau oleh orang yang arif billah, seperti pelaku suluk (menempuh ajaran agama), dan tasawuf, yang mana pandangan mereka telah di sinari dengan cahaya Allah SWT sehingga mereka mampu menembus rahasia-rahasia Al-Qur’an, atau mereka telah digoresi pikirannya dengan sebagian makna yang mendetail melalui ilham Allah SWT dengan kemungkinan dipadukan dengan yang lahir dari ayat-ayat itu.[10]
3. Macam-Macam Tafsir Ditinjau dari Segi Cara Penjelasannya
a. Metode Ijmali
Yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir membahas ayat demi ayat, sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf. Disamping itu penyampaiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya adalah tafsirannya.[11]
b. Metode Tahlili (analitis)
Yaitu menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan, serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[12]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa panfsir dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang berbeda tentu menimbulkan kecenderungan yang berbeda pula dalam penafsirannya.
c. Metode Muqarin (komparatif)
Yaitu metode penafsiran Al-Qur’an dengan cara membandingkan penafsiran ulama’ tafsir terhadap satu ayat, baik penafsiran itu berdasarkan riwayat dari Rasulullah, sahabat, tabi’in maupun berdasarkan rasio (ijtihad). Serta menjelaskan kecenderungan masing-masing pendapat dan menerangkan siapa diantara mereka yang penafsirannya dipengaruhi oleh perbedaan mazhab, siapa diantara mereka yang penafsirannya ditujukan untuk melegitimasi suatu golongan tertentu, atau mendukung aliran tertentu dalam Islam.
Dr. Nashruddin Baidan dalam bukunya, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,[13] berkesimpulan dari literatur yang ada bahwa yang di maksud dengan metode muqarin adalah :
1) Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama.
2) Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan.
3) Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
d. Metode Maudhu’i (tematik)
Metode yang lahir belakangan ini pertama kali di kenalkan oleh Al-Jalil Ahmad As-Sa’id Al-Kumi, ketua jurusan Tafsir di Universitas Al-Azhar. Prosedur metode ini adalah sebagai berikut :
1) Menetapkan masalah yang akan di bahas.
2) Menghimpun ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan mana turunya, disertai pengetahuan tentang asbab an-nuzul.
4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line).
6) Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat yang mempunyai pengertian sama, atau mengkompromikan antara ayat yang ‘am (umum) dan yang khos (khusus), mutlak dan muqoyyad, atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan.[14]
4. Macam-macam Tafsir Ditinjau dari Aliaran (corak) Penafsiran
a. Tafsir Lughawi / Adabi
Ialah tafsir yang menitik beratkan pada unsur bahasa, yaitu meliputi segi I’rab dan harakat bacaannya, pembentukan kata, susunan kalimat, kesusateraan.
•Al Kasyaf: Az Zamakhsyari.
•Al Bahr Al Muhith: Al Andalusi.
b. Tafsir al fiqhi
Adalah tafsir al Qur’an yang beraliran hukum / fiqh yang titik sentralnya pada bidang hukum.
•Tafsir Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an: Al Qurthubi.
•Tafsir Ahkam Al Qur’an: Ibnu Arabi
•Tafsir Ayati Al Ahkam: Muhammad Ali As Sayis.
c. Tafsir shufi
Yaitu tafsir al Qur’an yang beraliran tasawuf, kajiannya menitik beratkan pada unsur-unsur kejiwaan.
d. Tafsir i’tiqadi
Adalah tafsir al Qur’an yang beraliran aqidah, baik Dari golongan mu’tazilah maupun syi’ah, dengan dititik sentralkan pada bidang aqidah.
e. Tafsir falsafi
Ialah tafsir al Qur’an yang beraliran filsafat yang menitik beratkan pada bidang filsafat dengan menggunakan jalan dan pemikiran filsafat.
f. Tafsir ilmi / ashri
Yakni tafsir al Qur’an yang beraliran modern / ilmiah, titik sentralnya pada bidang ilmu pengetahuan umum, untuk menjelaskan makna ayat-ayat al Qur’an, terutama berkisar pada masalah alam (fisika) atau ayat-ayat kauniyah.
•Al Jawahir: Thanthawi Jauhari
•Al Tafsir Al Ilmi Li Al Ayat Al Kauniyah Fi Al Qur’an: Dr. Hanafi Ahmad.
•Tafsir Al Ayat Al Kauniyah: Abdullah Syahhathah
•Min Al Ayat Al Kauniyah Fi Al Qur’an Al Karim : Dr. Muhammad Jalaluddin Al Fandi.
g. Tafsir ijma’i
Adalah penafsiran yang melibatkan kenyataan sosial yang berkembang di masyarakat.
•Tafsir Fi Dhilalil Qur’an: Sayyid Quthb.
•Tafsir Al Manar: Syaikh Muhammad Abduh Dan Syaikh Rasyid Ridla.
5. Ilmu yang Diperlukan oleh Seorang Penafsir
a. Pengetahuan tentang bahasa arab dan yang berkaitan dengannya, yaitu ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu badi’ (ilmu balaghah)
b. Pengetahuan tentang ilmu Al-Qur’an, yaitu pengetahuan tentang asbab an-nuzul, makki dan madani, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, ulumul hadits, ilmu fiqih dan ushul, ilmu qira’at, ilmu ushuluddin, ilmu mauhibah.[15]
6. Hermeneutika Al-Qur’an
Hermenetuika secara etimologi diambil dari kata Yunani “hermenium”, yang berarti tafsir dan penjelasan serta penerjemahan. Dalam terminologi modern, hermeneutika berupaya mengatasi problem pemahaman dengan meringkas makna serta usaha menguasainya dengan media undang-undang apa pun. Maksudnya, ilmu yang digunakan dalam rangka mencari pemahaman teks secara umum, yaitu dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan beragam dan saling berkaitan seputar teks dari segi karakteristiknya dan hubungannya dengan pengarang teks serta pembacanya dari sisi yang lain.[16]
Dengan kata lain, hermeneutika dapat diartikan sebagai modal pemikiran dan perenungan filosofis yang bertujuan untuk menjelaskan pengertian, pemahaman dan ia berusaha menjawab pertanyaan “apa yang akan dibuat oleh sebuah makna kepada yang memiliki makna?” Bisa jadi sesuatu itu berupa bait syair, atau teks undang-undang perbuatan manusia, bahasa, kultur asing atau personal.[17]
Terdapat tiga pendapat yang berbeda tentang Hermeneutika :
a. Hermeneutika Khusus (regional hermeneutics)
Dalam bagian hermeneutika ini, dengan tujuan pemurnian proses penafsiran teks-teks dalam setiap medan pengetahuan. Jadi setiap ilmu pengetahuan memiliki hermeneutikanya masing-masing.
b. Hermeneutika Umum (general hermeneutics)
Yaitu bentuk dari metode-metode dan metodologis yang bertujuan menhadirkan suatu metode pemahaman dan penafsiran serta membersihkan kaidah-kaidah dan dasar-dasar. Bedanya ia tidak terkait khusus dengan cabang-cabang ilmu tertentu, tetapi memenuhi berbagai cabang ilmu penafsiran.
c. Hermeneutika Filsafat (Hermeneutical Philosophy)
Adalah aliran ke tiga yang menetapkan perenungan filosofis terhadap fenomena pamahaman yang menjadi objeknya. Ia tidak berpotensi memberikan metode atau menjelaskan dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang dapat mengontrol proses pemahaman dan penafsiran, baik metode itu dikehendaki untuk memahami teks, maupun untuk ilmu-ilmu humaniora secara mutlak.[18]
C. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Tafsir dan ta’wil merupakan metode dalam memahami Al-Qur’an.
2. Meski pada awalnya tafsir memiliki arti yang sama dengan ta’wil, namun pada perkembangannya terdapat perbedaan antara tafsir dan ta’wil. Tafsir mengandung arti yang lebih luas daripada ta’wil.
3. Hermeneutika adalah metode tafsir dan bertujuan mencari makna yang terkandung dalam teks, namun yang dicari oleh hermeneut (pelaku pentakwilan) bukan makna sederhana atau dangkal, melainkan makna yang bernilai, karena terkait dengan upaya penghargaan atas esensi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Hayy Al-Famawi. Al-Bidayah Fi Tafsir al-Maudhi’i. Terjemah Suryan Jamroh. Metode Tafsir Al-maudhu’i. (Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1994)
Ash-Shidieqy, TM Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta : Bulan Bintang. 1972).
Ash-Shidieqy, TM Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an. (Jakarta : Bulan Bintang. 1994).
Dr. Ali Hasan Al-Aridl. Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manhaj. Terjemah Ahmad Akrom. Sejarah dan Metodologi Tafsir. (Jakarta : Rajawali Pers. 1992)
Dr. Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Cet.2 (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2000).
Fahmi Salim. Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. (Jakarta : Perspektif. 2010).
Manna’ Al-Qathan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Cet.4 (Jakarta : Pustaka Al-kautsar. 2009)
Muhammad Ali Ash-Shabuni. Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terjemah oleh Saiful Islam Jamaluddin. (Surabaya : Al-Ikhlas. 1983).
Muslich Maruzi. Wahyu Al-Qur’an, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. (Jakarta : Pustaka Amani. 1987).
Prof Dr. H.M. Ridlwan Nasir, MA, Memahami Al-Qur’an, (Surabaya: Indra Media, 2003)
Parjono Wiro Putro. Membongkar Kesesatan Pemikiran JIL. Cet. 1. (Solo : Bina Insasi Press. 2004)
Rosihan Anwar. Ilmu Tafsir. Cet.1 (Bandung : Pustaka Setia. 2000).
Taufiq Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. (Yogyakarta : Forum Kajian Budaya dan Agama. 2001)
[1] Ash-Shidieqy, TM Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta : Bulan Bintang. 1972). Hal.202
[2] Ash-Shidieqy, TM Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an. (Jakarta : Bulan Bintang. 1994). Hal.178
[3] Fahmi Salim. Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. (Jakarta : Perspektif. 2010). Hal.2
[4] Taufiq Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. (Yogyakarta : Forum Kajian Budaya dan Agama. 2001) hal.353
[6] Manna’ Al-Qathan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. (Jakarta : Pustaka Al-kautsar. 2009) Cet.4, Hal. 411
[7] Muslich Maruzi. Wahyu Al-Qur’an, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. (Jakarta : Pustaka Amani. 1987). Hal.89
[8] Rosihan Anwar. Ilmu Tafsir. (Bandung : Pustaka Setia. 2000). Cet.1. hal. 151
[10] Muhammad Ali Ash-Shabuni. Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terjemah oleh Saiful Islam Jamaluddin. (Surabaya : Al-Ikhlas. 1983). Hal. 198
[11] Dr. Ali Hasan Al-Aridl. Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manhaj. Terjemah Ahmad Akrom. Sejarah dan Metodologi Tafsir. (Jakarta : Rajawali Pers. 1992) Hal. 13
[12] Abd al-Hayy Al-Famawi. Al-Bidayah Fi Tafsir al-Maudhi’i. Terjemah Suryan Jamroh. Metode Tafsir Al-maudhu’i. (Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1994) Hal. 12
[13] Dr. Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2000). Cet.2. Hal. 65-66
[14] Rosihan Anwar. Ibid. Hal. 161
[16] Fahmi Salim. Ktirik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. (Jakarta : Perspektif. 2010). Hal. 51-52
Merkur 23C - Chrome Merkur 23C Chrome Plated Safety Razor
BalasHapusDescription. 메리트 카지노 쿠폰 Merkur 23C Heavy Duty Short 바카라사이트 Handle Closed Comb DE Safety Razor with snap closure, 바카라 open comb. Made in Solingen, Germany.$50.00 · In stock