Laman

Cari Blog Ini

Kamis, 27 Januari 2011

PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID

PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID
( Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawy Al-Azady Al-Baghdady)

Oleh :
Mustofa Anwar


A.      PENDAHULUAN
Pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara si pemikir dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Oleh karena itu, produk pemikiran yang ada sebenarnya bergantungan kepada lingkungannya. Pendekatan ini memperkuat alasan dengan menunjuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari hasil interpretasi tersebut. Menurut Atho Mudzar, pendekatan ini penting sedikitnya karena dua hal; pertama, untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat seharusnya; kedua, untuk memberikan tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam sekarang untuk tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum. Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukanya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam. Pendekatan sejarah sosial bertugas menelusuri bukti-bukti sejarah itu.
Makalah ini mencoba menganalisis sebuah Kitab fikih. Seperti dikatakan oleh A. Dzazuli, bahwa Kitab fiqih dapat dipilah menjadi beberapa bidang yaitu: ibadah, ahwal syakh shiyyah, mu’amalah, jinayah,aqliy,uh, siyasah. Pembidangan hukum Islam ini sejalan dengan perkembangan pranata sosial sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Karenanya semakin kompleks kebutuhan manusia maka semakin beragam pula pranata sosial sehingga menuntut perkembangan pemikiran fiqih dan pembidangan hukum Islam. Berkaitan dengan hal ini melahirkan apa yang disebut fiqih pendidikan, fiqih lingkungan dan lain-lain, yang oleh Ali Yafie disebut sebagai "Fiqih Sosial". Fiqih sosial ini merupakan respon pemikir hukum Islam dalam memberi makna Islami terhadap pertumbuhan dan perkembangan pranata-pranata sosial di Indonesia.
Makalah ini berusaha menganalisis sebuah produk hukum Islam yaitu Kitab Al Amwal karya Abu Ubaid, Kitab ini menjadi pilihan karena secara substansi berisi pemikiran hukum Islam dari masa klasik, sesuai dengan adanya pembidangan di atas maka Kitab ini dapat dikatakan sebagai rujukan dalam pembentukan "Fiqh ekonomi". Hal ini karena pemikiran Abu Ubaid didasarkan atas sumber-sumber otentik berupa Qur'an dan Hadist untuk kemudian dapat dimaknai dalam pembentukan pranata sosial berupa pengembangan institusi ekonomi yang sangat dibutuhkan manusia pada saat ini. Tentu saja dalam tulisan ini akan digunakan pendekatan sejarah sosial hukum Islam Abu Ubaid, Biografi, Latar Belakang dan Pendekatannya.

1.       Biografi Singkat dan Karya Abu Ubaid
Nama lengkap beliau adalah Abu Ubaid al-Qosim bin Salam bin Miskin bin Zaidhi al-Azdhi. Beliau dilahirkan di kota Bahra (Harat) di propinsi Khurasan pada tahun 154 H dan wafat tahun 224 H di Makkah.[1]
Beliau belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qira'ah, tafsir, hadis dan fikih (tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Setelah kembali ke Khurasan, la mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thabit ibn Nasr ibn Malik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qadi di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya.
Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudamah Assarkhasy mengatakan, di antara Syafi'i, Ahmad Ibnu Hambal, Ishaq, dan Abu Ubaid, maka Syafi'i adalah orang yang paling ahli di bidang fiqih (faqih), Ibnu Hambal paling wara (hati-hati), Ishaq paling huffadz (kuat hafalannya) dan Abu Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)". Sedangkan menurut Ibnu Rohubah: "kita memerlukan orang seperti Abu Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita". Dalam pandangan Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu Bakar bin Al-Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut lshaq, Abu Ubaid itu yang terpandai diantara aku, Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abu Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abu Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu.
Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qawaidah, Fiqh, Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal dalam bidang Fikih. Kitab al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi nash (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi'in tentang masalah ekonomi.Dalam bukunya tersebut Abu `Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.

2.       Latar Belakang dan Pendekatannya
Agak sulit melacak latar belakang kehidupan Abu Ubaid, tetapi dari beberapa literatur yang ada mengatakan beliau hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abu Ubaid (w.224/834 H), Imam Ahmad bin Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist bi Asad al Muhasibi (165-243 11/781-857 M). Sedangkan pada masa Abbasiyah pertama ini keseluruhannya ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri dari selain fuqaha juga filosuf dan sufi. Masa Abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan dunia Islam atau masa renaisance. Baghdad merupakan kota yang kosmopolit saat itu, penduduknya sangat heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.
Popularitas Daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Makmun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi, untuk membeli "Manuscript". Pada mulanya hanya buku-buku mengenai kedokteran, kemudian meningkat mengenai ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Abu Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang menggeluti bidang ekonomi dalam hal ini aturan keuangan public. Ia juga banyak menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan kemampuannya dalam hal administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut (Jottschalk,'' pemikiran `Abu Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran `Abu Amr `Abdurrahman Ibn Amr al Azwa'i, karena seringnya pengutipan kata-kata Amr dalam al-Amwal, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syariah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus.
Awal pemikirannya dalam Kitab al-Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf ; Abu Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun, Kitab al-Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari Kitab al-kharaj dari sisi kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat. tubi 'in, serta tabi ' at-tabi’in. Abu Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan sarat-sarat etisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosof Abu Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.
Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abu Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abu Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al Qur’an dan al Hadist. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadist mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.

B.      PANDANGAN EKONOMI ABU UBAID
1.       Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.[2]
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity to pay" (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karayan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi muslim, maka komoditas komersial subyek muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak. Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh khalifah umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abu Ubaid mengadopsi keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.
2.       Dikotomi Badui (masyarakat desa) – Urban (masyarakat kota)
Abu Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan: l ) ikut terhadap keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan sunnah dengan penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties); 5 ) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum'at dan Id.[3]
Disamping keadilan, Abu Ubaid juga mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak meyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai seperti kaum urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan. fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan rnusuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abu Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan,fai yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abu Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan tunjangan.
Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abu Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abu Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.

3.       Kepemilikan : Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid rnengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh Imam.
Adapun hukum – hukum pertanahan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid adalah terdiri dari :
a.  Iqtha' yaitu tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada seorang rakyat untuk menguasai sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya.
b.  Ihya' al-Mawat yaitu menghidupkan kembali tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan dan menanam kembali benih – benih kehidupan pada tanah tersebut. Dalam hal ini negara berhak menguasai tanah tersebut dengan menjadikannya milik umum dan manfaatnya diserahkan untuk kemaslahatan umat.
c.  Hima (perlindungan) yaitu lahan yang tidak berpenduduk yang dilindungi negara untuk tempat mengembala hewan-hewan ternak.[4]

4.       Pertimbangan Kepentingan
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abu Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup minimum). Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing (likulli wahidin hasba hajatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah menurut haknya'", pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan Imam.

5.       Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.

C.      KESIMPULAN
Dari hasil pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.       Bila dilihat dari sisi masa hidupnya yang relatif dekat dengan Rasulullah, wawasan pengetahuannya serta isi, format, dan metodologi kitab Al-Amwal, Abu Ubaid pantas disebut sebagai pemimpin dari “Pemikir Ekonomi Mazhab Klasik”.
2.       Pandangan-pandangan Abu Ubaid merefleksikan perlunya memelihara dan mempertahankan hak dan kewajiban masyarakat, menjadikan keadilan sebagai prinsip utama dalam menjalankan roda kebijakan pemerintah, serta menekankan rasa persatuan dan tanggung jawab bersama. Disamping itu, Abu Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim.
3.       Abu Ubaid mengatakan bahwa penerimaan negara ( fai', khumus, dan shadaqah (zakat) wajib di kelola negara dan mengalokasikannya kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2008.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok : Gramata Publishing. 2005.
Dzazuli, Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), Indonesia, Bandung: Orba Shakti, 1991.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1973), cet. ke-4,
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985, jilid lI, Jakarta
HM. Atho Mudzar, Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam, Artikel pada Mimbar Hukum, Jakarta: Departemen Agama, 1992.
Karnaen Perwataatmadja, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Diktat kuliah pada Fakultas Syari'ah, Jakarta, 2000/2001,1993.


[1] DR. Euis Amalia, M. Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontenporer, Jakarta : Gramata Publishing, 2010, hal. 144
[2] Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2004, hal. 273
[3] Ibid., hal. 275
[4] DR. Euis Amalia, M.Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontenporer, Jakarta : Gramata Publishing, 2005, hal. 152-154

Tidak ada komentar:

Posting Komentar