Laman

Cari Blog Ini

Kamis, 27 Januari 2011

zakat sebagai sumber kekayaan negara

ZAKAT SEBAGAI SUMBER KEKAYAAN NEGARA
Oleh:
Mustofa Anwar



Abstract
Tithe, as one of the five foundations of Islam, is not only containing the divinity dimension, but also humanity dimension.
Good tithe management and distribution, to the people who deserve this, will increase the purchasing power of the society. Therefore, tithe can produce the balance between the goods supply and demand, facilitate the production process, and pave the way of progress, increase the generalization of income distribution and national prosperity.
Accordingly, tithe is not only giving an advantage for the poor people, but also the riches. As mentioned in Holy Qur’an: “the tithe brings advantages for both the giver and receiver”.

A.      Pendahuluan
Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi yaitu vertikal dan horizontal. Di satu sisi zakat sebagai sarana penghambaan pada Allah, dan di sisi lain zakat sebagai kewajiban kepada sesama manusia. Zakat merupakan suatu yang sangat penting dalam ajaran Islam. Terbukti dengan adanya penyandingan perintah zakat dengan sholat di dalam Al-Qur’an sebanyak ± 82 ayat.
Abdul manan mengatakan : zakat merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan salah satu implementasi azas keadilan dalam sistem ekonomi Islam.
Menurut Monzer Kahf, tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin.
Zakat merupakan alat bantu sosial mandiri yang menjadi kewajiban moral bagi orang kaya untuk membantu mereka yang miskin dan terabaikan, yang tidak mampu menolong dirinya sendiri meskipun dengan skema jaminan sosial yang ada, sehingga kemelaratan dan kepapaan dapat terhapuskan dari masyarakat muslim. Zakat tidak menghilangkan kewajiban pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan, melainkan hanya membantu menggeser sebagian tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat khususnya kerabat dekat dan tetangga dari individu yang terkait, sehingga mengurangi beban pemerintah. Jika hasil zakat tidak mencukupi, Fuqaha’ berpendapat bahwa masyarakat muslim harus memikul beban ini dan berusaha menemukan cara-cara dan alat-alat lain untuk mencapai tujuan ekonomi tersebut.
Menurut Umar Capra : zakat merupakan penopang dan tambahan meringankan beban pemerintah dalam menciptakan pemerataan dan pengurangan kemiskinan. Demikian pula zakat tidak menghalangi negara untuk mengadopsi ukuran-ukuran fiskal dan skema-skema redistribusi pendapatan serta perluasan lapangan pekerjaan dan peluang penciptaan lapangan kerja sendiri melalui bantuan modal ringan dari dana zakat itu sendiri.
Makalah ini menyoroti tentang sumber-sumber zakat dalam sistem perekonomian modern sebagai salah satu sumber kekayaan negara dalam mewujudkan masyarakat sejahtera.

B.      Pembahasan
1.       Pengertian
Zakat secara bahasa berarti “membersihkan” dan “berkembang”. Sedangkan menurut syara’, zakat dapat diartikan sebagai kadar harta yang tertentu, yang diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat.
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima. Hukumnya adalah Fardlu ‘ain atas orang-orang yang cukup syarat-syaratnya. Dalam Islam Zakat terdiri dari Zakat fitrah dan Zakat mal. Zakat mal (zakat harta) mulai difardlukan pada tahun kedua hijriah, yaitu setelah kefardluan Zakat fitrah.[1]

2.       Syarat-syarat Harta yang Wajib dikeluarkan Hartanya
Islam selalu menetapkan standar umum pada setiap kewajiban yang dibebankan kepada umatnya, termasuk penetapan harta yang menjadi sumber/obyek zakat. persyaratan harta yang menjadi sumber/obyek zakat adalah:
a.       Harta tersebut harus didapatkan dengan cara yang baik dan halal. Artinya harta yang haram, baik substansi bendanya maupun cara mendapatkannya tidak akan dikenakan zakat. Sebagaimana yang tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 267.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ﴿٢٦٧﴾

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”

b.      Harta tersebut berkembang/berpotensi untuk dikembangkan. Dalam terminologi fiqhiyyah, menurut Yusuf Qardawi, pengertian berkembang ada dua macam; yaitu secara kongkrit dan tidak kongkrit. Secara kongkrit maksudnya dengan cara dikembangbiakkan, diusahakan, diperdagangkan dan yang sejenis dengannya. Sedangkan yang secara tidak kongkrit maksudnya adalah harta tersebut berpotensi untuk berkembang, baik berada ditangannya maupun berada di tangan orang lain atas namanya.

c.       Milik penuh, yaitu harta tersebut berada di bawah kontrol dan dalam kekuasaan pemiliknya. Di dalamnya tidak tersangkut hak orang lain dan ia dapat memilikinya.
d.      Menurut Jumhur ulama’, harus mencapai nisab (batasan jumlah barang yang akan dizakati) dan haul (satu tahun lamanya dimiliki).

3.       Jenis-jenis Harta yang Wajid Dizakati
a.       Emas, Perak dan Uang
Nisab emas adalah 85 gram (sama dengan 20 dinar). Maka jika seseorang memiliki simpanan emas sebanyak 85 gram atau lebih, dan telah cukup haulnya (yakni satu tahun menurut kalender hijriah), wajib ia mengeluarkan zakatnya 2,5% dari jumlah emas yang dimiliki.
Sedangkan hisab perak adalah 200 dirham (atau kira-kira 592 gram). Maka jika seseorang memiliki perak sebanyak 592 gram atau lebih dan telah sampai haul-nya, wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari jumlah perak yang dimilikinya.
Dan untuk nisab uang disamakan dengan emas (85 gram) dan telah sampai haul-nya. Zakatnya adalah 2,5% dari jumlah yang dimiliki.
b.      Zakat Perdagangan
Mayoritas ulama’ mewajibkan pengeluaran zakat atas barang-barang perdagangan yang telah memenuhi syarat-syarat nisabnya dan haul-nya (nisab setara dengan 85 gram emas), wajib zakat 2,5% dari jumlah harta yang dimiliki.

c.       Zakat Pertanian
Zakat pertanian dibagi menjadi dua : pertama, pertanian yang diairi air hujan semata-mata dan tidak memerlukan biaya lain, zakatnya adalah 10% dari hasil panen keseluruhan.
Kedua, tanaman yang diairi air sumur, sungai, dan sebagainya, zakatnya adalah 5% dari hasil keseluruhan. Adapun nisab zakt pertanian adalah 5 wasaq, atau kira-kira 653 kg.

d.      Zakat Hewan Ternak
Yang dimaksud hewan ternak disini secara khusus adalah unta, sapi (atau kerbau) dan kambing. Selain ketiga hewan tersebut zakatnya disamakan dengan zakat harta perdagangan. Ketiganya wajib di keluarkan zakatnya apabila memrnuhi persyaratan :
1)       jumlahnya telah mencapai nisab.
2)       telah melewti mas 1 tahun (haul).
3)       digembalakan di tempat pengembalaan umum. Yaitu, tidak diberi makan di kandangnya kecuali jarang sekali.
4)       Tidak digunakan untuk keperluan pribadi pemiliknya. Seperti untuk mengangkut barang atau membajak sawah dan sebagainya.
Nisab Zakat unta ketika jumlahnya mencapai 5 ekor atau lebih dan Zakatnya adalah 1 ekor kambing usia 2 tahun atau domba usia 1 tahun. Sedangkan nisab sapi ( kerbau) ketika jumlahnya mencapai 30 ekor dan Zakat yang harus dikeluarkan adalah 1 ekor anak sapi (kerbau) usia 1 tahun atau lebih. Sedangkan nisab kambing (domba) adalah ketika jumlahnya mencapai 40 ekor dan zakatnya adalah 1 ekor domba berusia 1 tahun atau kambing usia 2 tahun.

4.       Sumber-sumber Zakat dalam Perekonomian Modern
a.       Zakat Perusahaan
Para ulama kontemporer menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legal dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan.
Hal tersebut dikuatkan oleh keputusan seminar zakat di Kuwait, tanggal 3 April 1984 tentang zakat perusahaan sebagai berikut:
Zakat perusahaan disamakan dengan perdagangan apabila kondisi-kondisi sebagai berikut terpenuhi :
1)       Adanya peraturan yang mengharuskan pembayaran zakat perusahaan tersebut.
2)       Anggaran Dasar perusahaan memuat hal tersebut.
3)       RUPS mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan hal itu.
4)       Kerelaan para pemegang saham menyerahkan pengeluaran zakat sahamnya kepada dewan direksi perusahaan.

Pendapat ini berdasarkan prinsip usaha bersama yang diterangkan dalam hadis Nabi saw. tentang zakat binatang ternak yang penerapannya digeneralisasikan oleh beberapa madzhab fikih dan yang disetujui pula dalam Muktamar Zakat I. Idealnya perusahaan yang bersangkutan itulah yang membayar zakat jika memenuhi keempat kondisi yang disebutkan di atas. Jika tidak, maka perusahaan harus menghitung seluruh zakat kekayaannya kemudian memasukkan ke dalam anggaran tahunan sebagai catatan yang menerangkan nilai zakat setiap saham untuk mempermudah pemegang saham mengetahui berapa zakat sahamnya. (fatwa zakat kontemporer).
Mengingat penganalogian zakat perusahaan kepada zakat perdagangan maka pola penghitungan, nisab dan syarat-syarat lainnya juga mengacu pad zakat perdagangan. Dasar penghitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada suatu riwayat yang diterangkan Oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal “Apabila telah sampai batas waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) ataupun barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau miliki”.
Dari penjelasan diatas maka pola penghitungan zakat perusahaan adalah didasarkan pada neraca (balance sheet) dengan mengurangkan kewajiban lancar atas aktiva lancar. Metoda penghitungan ini biasa disebut dengan metoda Syar’iyyah, Metode ini digunakan di Saudi Arabia dan beberapa negara Islam lainnya sebagai pendekatan penghitungan zakat perusahaan.

b.      Zakat Surat-surat Berharga
Salah satu bentuk harta yang berkaitan dengan perusahaan dan bahkan berkaitan dengan kepemilikannya adalah saham. Pemegang saham adalah pemilik perusahaan yang mewakilkan kepada manajemen untuk menjalankan operasional perusahaan. Pada setiap akhir tahum biasanya pada watku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dapatlah diketahui keuntungan (deviden) perusahaan termasuk juga kerugiannya. Pada saat itulah ditentukan kewajiban zakat terhadap saham tersebut.
Yusuf al Qaradhawi mengemukakan dua pendapat yang berkaitan dengan kewajiban berzakat pada saham tersebut. Pertama jika perusahaan itu merupakan perusahaan industri murni, artinya tidak melakukan kegiatan perdagangan maka sahamnya tidaklah wajib dizakati, Misalnya perusahaan hotel, biro perjalanan dan angkutan (darat, laut udara). Alasannya adalah saham-saham itu terletak pada alat-alat perlengkapan , gedung-gedung, sarana dan prasarana lainnya, Akan tetapi keuntungan yang ada dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Syaikh Abdul Rahman Isa. Kedua, jika perusahaan tesebut merupakan perusahaan dagang murni yang membeli dan menjual barang-barang, tanpa melakuakn kegiatan pengolahan, seperti perusahaan yang menjual hasil-hasil industri, perusahaan daganginternasional, perusahaan ekspor impor, maka saham-saham atas perusahaan itu wajib dikeluarkan zakatnya. Hal yang sama berlaku pada perusahaan industri dagang, seperti perusahaan yang mengimpor bahan-bahan mentah, kemudian mengolah dan menjualnya, contohnya perusahaan minyak, perusahaan pemintalan kapas dan sutera, perusahaan besi dan baja dan perusahaan kimia.
Menurut Abudurrahman Isa kriteria wajib zakat atas saham-saham perusahaan adalah perusahaan perusahaan itu harus melakukan kegiatan dagang, apakah disertai dengan kegiatan industri ataupun tidak

c.       Zakat Profesi
Zakat profesi tidak dikenal dalam literatur-literatur lama. Oleh sebab itu, tentang nisab serta jumlah zakat yang wajib, menjadi bagian ijtihad ulama kontemporer, diantaranya :
Dr. Yusuf Qardawi yang menganalogikan zakat profesi dengan zakat uang, sehingga banyaknya nisab dan jumlah yang dikeluarkan juga sama seperti zakat uang.
Syaikh Muhammad Al-Ghozali yang menganalogikan zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, yaitu 10% dari sisa pendapatan bersih.
Sedangkan Imamiyah yang menetapkan zakat profesi sebesar 20% dari hasil pendapatan bersih.



5.       Esensi Distribusi dari Zakat
Zakat dalam berbagai bentuknya berfungsi membangun pajak kekayaan negara, karena mendayagunakan segala bentuk kekayaan yang ada. Tidak seperti halnya dalam pajak modern, pengaturan pengumpulan zakat begitu sederhana dan tidak memerlukan pengetahuan khusus. Pelaksanaan pemungutan zakat secara semestinya, secara ekonomi, dapat menghapuskan tingkat perbedaan kekayaan yang mencolok, serta sebaliknya dapat menciptakan redistribusi yang merata, disamping pula membantu mengekang laju inflasi. Selain perkembangan tak menentu dari peredaran uang di dalam negeri, kekurangan barang dan kecepatan peredaran uang, distribusi kekayaan yang tidak tepat dan tidak merata dapat pula mengakibatkan timbulnya laju inflasi dan kehancuran pasar.
Zakat merupakan penopang dan tambahan meringankan beban pemerintah dalam menciptakan pemerataan dan pengurangan kemiskinan. Demikian pula zakat tidak menghalangi negara untuk mengadopsi ukuran-ukuran Fiskan dan Skema-skema redistribusi pendapatan serta perluasan lapangan pekerjaan dan peluang penciptaan lapangan kerja sendiri melalui bantuan modal ringan dari dana zakat itu sendiri.
Zakat tidak menghilangkan kewajiban pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan, melainkan hanya membantu menggeser sebagian tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat khususnya kerabat dekat dan tetangga dari individu yang terkait, sehingga mengurangi beban pemerintah. Tidaklah realistis mengharapkan pemerintah untuk memikul seluruh beban kesejahteraan ini. Jika hasil zakat tidak mencukupi, Fuqaha’ berpendapat bahwa masyarakat muslim harus memikul beban ini dan berusaha menemukan cara-cara dan alat-alat lain untuk mencapai tujuan ekonomi tersebut.[2]
6.       Esensi Pendayagunaan Zakat
Pendayagunaan zakat akan mendorong investasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, dengan dikenakannya zakat terhadap kekayaan maka kekayaan yang ditabung akan segera diaktifkan atau diinvestasikan. Dan secar tidak langsung, zakat dapat meningkatkan konsumsii barang dan jasa pokok sebagai akibat meningkatnya pendapatan fakir-miskin. Dengan meningkatnya permintaan barang dan jasa ini akan merangsang produksi barang dan jasa yang berarti juga meningkatkan investasi terutama terhadap barang dan jasa pokok.
Departemen Agama Republik Indonesia menyebutkan bahwa tujuan dan sarana zakat hendaknya digunakan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat miskin, pendidikan dan beasiswa, membantu mengatasi ketenagakerjaan dan pengangguran, membantu dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, pemeliharaan anak-anak terlantar serta pembangunan dan pemeliharaan sarana ibadah.
Sangatlah disayangkan jika program-program diatas hanya tertulis rapi diatas kertas, ditambah dengan kesadaran umat yang masih rendah dalam pembayaran zakat. Dengan demikian upaya menumbuhkan kesadaran umat untuk membayar zakat menjadi prioritas utama. Karena, program-program yang dapat meningkatkan kesejahteraan tidak akan berjalan dengan maksimal jika kesadaran yanng dimiliki para Hartawan masih rendah dalam masalah zakat. Selain itu fungsionalisasi Amil zakat melalui program-program kemasyarakatan yang jelas adalah keharusan. Selain itu diperlukan pemikiran lebih lanjut, bagaimana agar setiap program zakat yang ada memiliki dampak atau pengaruh yang luas dan strategis (berdaya guna). Sehingga dapat meninngkatkan kesejahteraan dan lebih mendekatkan jarak antara muzaky dan mustahiq


C.      Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.       Zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sarana pembangunan nasional.
2.       Dana zakat berpotensi  besar untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional.
3.       Agar dana zakat itu dapat disalurkan secara tepat, efisien, dan efektif sehingga dapat mencapai tujuan zakat itu sendiri, yaitu seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pengumpulan zakat dan pendistribusian yang terpisah-pisah baik  yang dilakukan sendiri maupun lembaga amil zakat dapat ditingkatkan lagi apabila pengumpulan dan pengelolaannya dilakukan oleh negara melalui perangkat-perangkatn

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf. UI Press. Jakarta. 1988.
Hafifudin, Didin, Dr. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Gema Insani Press. Jakarta. 2002.
Al-Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat (Terjemah). PT.Pustaka Litera Antarnusa. Jakarta. 1998.
Hasan, M.Ali. Masail Fiqhiyyah : Zakat, Pajak, Assuransi & Lembaga Keuangan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2000.


[1] Syaikh Zainuddin Al-Malibari. Fathul Mu’in. Al-Hidayah. Surabaya. Hal. 48
[2] Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. 2005. Hal.40-41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar