Laman

Cari Blog Ini

TERAS

PERBEDAAN-PERBEDAAN SUBSTANTIF ANTARA
HUKUM PERJANJIAN DAN AKAD TRANSAKSI SYARIAH
DENGAN KONVENSIONAL

Oleh : Mustofa Khoyalim
 A.    Pendahuluan
Kedudukan manusia sebagai ibadurrahman sekaligus khalifatullah fil ardhi serta interaksi insaniah yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya dalam memenuhi hajat hidup yang terwujud dalam interaksi-interaksi mu’amalah (ekonomi) seperti jual beli, kontrak kerja (join venture) dan transaksi lain yang menghasilkan adanya tasharrufaat.[1]
Dalam ber- tasharrufaat sudah barang tentu tidak terlepas dari adanya “perjanjian” yang timbul sebagai konsekuensi atas hubungan insaniah melalui mu’amalah. Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim mayoritas dan sebagai bekas jajahan Belanda, adalah suatu yang wajar jika hukum yang berlaku sedikit banyak berbau “londo”. Yang pada akhirnya dalam masa semaraknya Arabisasi dalam segala lini (termasuk dalam masalah hukum), lahirlah istilah hukum syariah dan hukum konvensional, perjanjian syariah dan perjanjian konvensional, akad syariah dan akad konvensional.

Pelabelan konvensional ditujukan untuk segala jenis produk (hukum, system, pemikiran dll) yang berasal dari barat (non Islam), sedangkan pelabelan syariah digunakan untuk segala jenis produk yang didasarkan pada “wahyu” dengan penggunaan istilah berbahasa Arab.[2] Lahirnya pengistilahan antara hukum perjanjian dan akad transaksi syariah dan konvensional inilah yang melatarbelakangi penulis menyuguhkan makalah ini kehadapan pembaca. Terutama kepada al-Mukhtarom Syaikh Prof. Dr. Suharto, S.H, M.A. Selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perjanjian dan Akad Transaksi Syari’ah.
 B.     Penggunaan Istilah Syari’ah dan Konvensional
Mengingat maraknya penggunaan istilah-istilah kuno dengan makna baru kerap kali menyulitkan seseorang dalam memahami maksud sebuah kalimat. Meski terlihat janggal dan terlambat untuk melakukan penjabaran makna Syari’ah dan konvensional. Namun dengan melihat realita yang berkembang tidak sedikit orang yang menggunakan kedua istilah tersebut namun belum juga dapat memahami makna dari apa yang dikatakannya (mungkin penggunaan istilah tersebut hanya karena agar dilihat moder atau hanya sekedar ikut-ikutan dan motif lainnya).

Untuk itu dalam makalah ini penulis memandang perlu untuk sedikit menjabarkan makna dari kedua istilah tersebut agar tidak terjadi lagi kesalah fahaman dalam penggunaan bahasa asaing.
 1.      Makna Syari’ah
Kata syariah yang sering kita dengar adalah pengindonesiaan dari kata Arab, yakni as-Syarî’ah al-Islâmiyyah, untuk itu, pemaknaan kata syari’ah aharus dikembalikan kepada waadli’ al-lughah (pembuat bahasa) kata tersebut yaitu orang Arab.
Menurut Ibn al-Manzhur yang telah mengumpulkan pengertian dari ungkapan dalam bahasa arab asli dalam bukunya Lisân al’Arab . secara bahasa syariah itu punya beberapa arti. Diantara artinya adalah masyra’ah al-mâ’ (sumber air). Hanya saja sumbr air tidak mereka sebut syarî’ah kecuali sumber itu airnya sangat berlimpah dan tidak habis-habis (kering). Kata syarî’ah itu asalnya dari kata kerja syara’a.[3]
Pada konteks awalnya (hakekat lughawiyyah) kata syarii'ah bermakna "al-thariiqah al-dzaahirah allatiy yatawashshalu bihaa ila al-maa" (jalan terang yang bisa mencapai air). Selanjutnya kata "al-syarii'ah" digunakan oleh para pengguna bahasa Arab dengan makna "urusan agama yang ditetapkan Allah swt kepada hambaNya". Mereka juga memaknai kata syari'ah sebatas pada aturan-aturan agama yang bersifat 'amaliyyah (praktis), bukan i'tiqaadiyyah (keyakinan).
Prof. Mahmud Syaltut, di dalam Kitab al-Islaam; 'Aqiidah wa Syarii'ah menyatakan:
“Syarii'ah adalah aturan-aturan (sistem) yang Allah telah mensyariatkannya, atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut, agar manusia mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara kemanusiaannya (non-Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan kehidupan".[4]
Berdasar pada pemaknaan diatas, makna syari’ah dalam hukum perjanjian dan akad transaksi syariah berarti bentuk hukum perjanjian adan akad transaksi yang berpegang teguh pada aturan-aturan (system) yang telah di syariatkan oleh Allah.
 2.      Makna Konvensional
Istilah konvensional sangat sering dipakai oleh para analis. Terkadang pemakaian sangat pas dan sering pemakaiannya hanya sekedar agar istilah yang dipakai terkesan keren dan modern.
Kata konvensional berasal dari kata konvensi. Istilah konvensi awalnya digunakan untuk menyatakan atau mengkomunikasikan segala sesuatu yang didasarkan kepada kesepakatan. Tentu saja yang bersepakat adalah banyak orang.[5]
Selanjutnya sebutan konvesional adalah untuk menyatakan segala sesuatu kegiatan atau tindakan berdasarkan konvensi. Artinya setiap konsep yang akan dikerjakan pelaksanaannya harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati. Biasanya setiap orang yang terkait dengannya telah memahaminya, sehingga proses dapat berjalan dengan baik.
Dewasa ini penyebutan konvensional lebih diidentikkan pada segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan syariat Islam. Dengan kata lain istilah konvensional lebih diartikan pada anonin dari syari’ah.[6] Dengan demikian dalam makalah ini pun akan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan (mengartikan konvensional sebagai anonim syari’h dari pada menggunakan makna sesungguhnya).        
 C. Perbedaan-perbedaan Substantif Antara Hukum Perjanjian dan Akad Transaksi Syari’ah dengan Konvensional
Sejalan dengan pemaknaan diatas maka terdapat hal-hal substantif yang membedakan antara hukum perjanjian dan akad transaksi syari’ah dengan hukum perjanjian dan akad transaksi konvensional (dalam ini diwakili oleh KUH Perdata).
 1.      Sumber Perjanjian Syari’ah dan Konvensional
Perjanjian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-’aqd yang berarti perikatan,  permufakatan. Secara terminologi fiqh akad didefinisikan dengan : ”Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan[7]
Sementara dalam pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal”.[8]
Dengan demikian, setelah adanya perjanjian yang menimbulkan perikatan maka timbulah yang dinamakan kontrak atau oleh Hasanuddin Rahmad disebut perjanjian tertulis sebagai media atau bukti kedua belah pihak
Charless l. Knap dan Nathan m. crystal menjelaskan bahwa contract is: an agreement between two or more people not merely a shered belief, but common understanding as to something that is to be done in the future. By one or both of them.  Kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih tidak hanya memberikan kepercayaan tapi  secara bersama- sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh seseorang atau keduanya.
Maka jika sudah melalui proses penulisan atau penuangan perjanjian dalam tulisan yang mengaitkan undang- undang untuk mengaturnya. Undang- undang tersebut berhak mengatur baik hak atau kewajiban antara kedua belah pihak. Karena undang- undang dalam hal berperan sebagai sumber perikatan yang disebabkan karena perbuatan manusia dalam hal ini kedua belah pihak yang memaksa.
Sebagai skala perbandingan untuk mengomparasikan antara sumber perikatan dalam syari’ah dan konvensional maka menarik untuk mengutif Ahmad Mustafa Az Zarqo dalam Hasanuddin Rahmad mengatakan bahwa sumber- sumber perikatan dalam Islam terdiri dari lima hal yang disebut sebagai mashadir al iltizam, yaitu; akad, kehendak sepihak, perbuatan merugikan, perbuatan bermanfaat, dan syara’.[9]
 2.      Kebebasan dalam Membuat Perjanjian
Para ulama fiqh menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak yang berakad. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan akad itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah surat al-Maidah ayat 1.

Ulama’  Hanafiah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa setiap orang yang melakukan akad bebas untuk mengemukakan dan menentukan syarat, selama syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak syara’ dan tidak bertentangan pula dengan hakikat akad. Sedangkan menurut ulama Hanabilah dan malikiyah, pihak-pihak yang berakad bebas mengemukakan persyaratan dalan suatu akad selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua belah pihak.[10]
Sementara itu dalam hukum positif Hukum perjanjian menganut sistem terbuka artinya bahwa setiap orang boleh membuat perjanjian mengenai apa saja baik yang sudah ada ketentuan dalam UU maupun yang belum ada ketentuannya, asalkan tidak melanggar UU, ketertiban umum dan kesusilaan.
Hukum perjanjian bersikap sebagai hukum pelengkap, artinya pasal-pasal dalam buku III KUH Perdata dapat dikesampingkan berlakunya manakala para pihak membuat ketentuan sendiri.
 3.      Sebab-sebab Berakhirnya Perjanjian
Terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat- syarat tertentu dalam perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya habisnya jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian atau dalam loan agreement, semua hutang dan bunga atau denda jika ada telah dibayarkan. Secara keseluruhan, KUHPerdata mengatur factor- factor lain yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian yang sebenarnya jika dibandingkan dengan berakhirnya perikatan dalam hokum syar’i tidak jauh berbeda jika tidak mengatakannya sama, diantaranya karena:
a.      Pembayaran
Pembayaran tidak selamanya diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata, tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsure pembayaran
b.      Penawaran Pembayaran Diikuti dengan Penyimpangan atau Penipuan
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan pestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam- meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan gigilan, apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya.
c.       Pembaharuan Hutang
Pembaharuan hutang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab munculnya perjanjian baru menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui berakhir. Perjanjian baru bias muncul karena berubahnya pihak dalam perjanjian, misalnya perjanjian novasi dimana terjadi pergantian pihak debitur atau karena berubahnya perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian sewa, karena pihak pembali tidak mampu melunasi sisa pembayaran.
d.      Perjumpaan Hutang dan Kompensasi
Perjumpaan hutang terjadi karena antara kreditur dan debitur saling menghutang terhadap yang lain, sehingga utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang mereka masing- masing.
e.       Percampuran Hutang
Berubahnya kedudukan pihak atau suatu objek perjanjian juga dapat menyebabkan terjadinya percampuran hutang yang mengahirir perjanjian, contohnya penyewa rymah yang berybah menjadi pemilik rumah karena dibelinya rumah sebelum waktu sewa berakhir maka sementara masih ada tunggakan sewa yang belum dilunasi.
f.       Pembebasan Hutang
g.      Musnahnya Barang yang Terhutang atau Meninggalnya Salah Satu Pihak yang Berkontrak
h.      Kebatalan atau Pembatalan
i.        Berlakunya Satu Syarat Batal
j.        Lewat Waktu (Daluarsa)
 D.  Kesimpulan
Dari hasil pemaparan mengenai perbedaan-perbedaan substantif Hukum Perjanjian dan Akad          Transaksi Syari’ah dengan Konvensional di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai beriukut :
1.      Meskipun hukum perjanjian dan akad transaksi syaria’ah dan konvensional memiliki banyak persamaan, setidaknya masih terdapat beberapa perbedaan yang substantive yang membedakan keduanya yang pertama yaitu bahwa hukum perjanjian dan akad transaksi syari’ah senantiasa berdasar kepada Firman Tuhan (Wahyu) yang tertuang dalam al-qur’an dan al-Sunnah. Sedangkan dalam hukum perjanjian dan akad transaksi konvensional lebih didasarkan kepada Undang-undang yang telah disepakati oleh masyarakat.
2.      dalam hukum perjanjian dan akad transaksi syari’ah karena berdasarkan pada petunjuk ilahiyah, sudah barang tentu tidak hanya berorientasi pada kamakmuran dunia semata namun, juga mempertimbangkan aspek akhirat. Hal ini yang tidak “terungkap” dalam hukum perjanjian dan akad transaksi konvensional.


[1] Semua bentuk hubungan interpersonal yang mengandung unsur ijab dan qabul
[2] Pemahaman semacam ini dikarenakan “nahnu nahkumu bizh-zhawahir” tanpa melihat esensi dari suatu produk, jika itu berasal dari barat (pemikir non Islam) dikatakan konvensional dan tidak syariah. Seharusnya tidak demikian. Bukankah penyerahan diri  kepada Tuhan harus diaktualisasikan dengan amal shaleh yang beremuara pada terwujudnya kebaikan bagi semua?  Jika jawabannya ya berarti tidak tepat jika semua yang berasal dari barat (non Islam) dikatakan tidak sesuai dengan syariah. Pun demikian sebliknya meskipun hasil ijtihad umat Islam secara teoritis dapat diakui kebenarannya karena kepiawaian mengungkapkan dalil-dalil nakli namun jika dalam uji empirisnya gagal dalam menciptakan terwujudnya kebaikan bagi semua, maka itu pun tidak tepat dikatakan sebagai yang sesuai dengan syariah.
[3] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, hal. 175
[4]  Syaikh Mahmud Syaltut, al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, h. 12
[5] www.artikata.com

[7]  Harun Nasrun, Fiqh Mu’amalah, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000, h. 97
[8]  Salim HS, SH., Hukum Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, h. 27
[9]  Rahmad, Hasanuddin, Contrac Drafting – Seri Keterampilan Merancang Bisnis, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, h. 6
[10] Harun Nasrun, Op. cit, h. 105