ULUM AL-HADIS
Kriteria hadits shahih dan perbedaannya dengan hadits dhaif dan
maudhu’
Hadits shahih adalah ≈ hadits
yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabit,
serta tidak syadz dan tidak cacat.
Dari definisi tersebut, maka untuk menggolongkan suatu hadits dapat
dikatakan sebagai hadits shahih, setidaknya harus memenuhi beberapa kriterian
sebagai berikut :
a. Sanadnya bersambung,
semenjak dari Nabi, sahabat, hingga periwayat terakhir.
b. Periwayatnya
harus orang yang adil dan dhabit. Adil
artinya, periwayat setia mengamalkan agamanya sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya. Periwayat tidak pernah bohong, apalagi pembohong. Dhabit artinya,
periwayat mempunyai hafalan yang kuat, cermat dan mengetahui ada perubahan
periwayatan atau tidaknya (periwayat tidak pelupa).
c. Informasi
haditsnya tidak syadz,
Maksudnya, informasi yang terkandung didalamnya tidak bertentangan dengan
informasi yang dibawa oleh orang-orang yang lebih berkualitas, atau dalil lain
yang lebih kuat. Sebab sungguhpun sebuah hadits diriwayatkan oleh orang-orang
“berkualitas” dan bersambung sanadnya, sehingga hadits itu dapat
dikatakan shahih sanadnya, kalau kandungan haditsnya (matannya) ternyata
syadz, maka hadits tersebut jadi tidak shahih.
d. Hadits
yang diriwayatkan itu tidak cacat,
seperti, tidak ada pengelabuhan dengan cara menyambung sanad hadits yang
sebenarnya memang tidak bersambung, atau mengatasnamakan dari Nabi, padahal
sebenarnya bukan dari Nabi.
Hadits dhaif adalah : hadits
yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih maupun hadits hasan
(maqbul).
adapun penyebab kedha’ifan (suatu hadits dapat dikatakan dhai’f)
suatu hadits adalah dikarenakan :
a.
Karena
terdapat sanat yang tidak bersambung (terputus),
b.
Karena
adanya cacat pada periwayatnya maupun matan hadits yang dibawa.
Hadits maudhu’
adalah : sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik
perbuatan, perkataan, taqrir, dan sifat beliau secara dusta. Lebih tepat lagi
ulama hadits mendefinisikannya sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari
Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan
kepada beliau secara sengaja.
Hadits dhaif dan maudhu’ tidak boleh dijadikan hujjah dalam
pengambilan hukum dikarenakan
kelemahan hadits dhaif yang tidak bersambung sanadnya dan atau terdapat cacat
dalam matannya dikhawatirkan matan hadits tersebut adalah palsu dan dapat
merusak tatanan aqidah maupun amaliah umat muslim itu sendiri. Akan tetapi
terdapat sebagian ulama’ yang membolehkan menggunakan hadits dhaif sebagai
pemicu atau penyemangat dalam ibadah. Sementara itu hadits maudhu’ jelas-jelas
tidak boleh digunakan karena tidak bersumber dari Rasul Muhammad. Sehingga bias
jadi hadits itu diciptakan berdasar nafsu pembuatnya demi
kepentigan-kepentingan tertentu yang malah akan memecah belah Islam.
2. Metode memahami hadits
a. Metode Tahlili (Analitis)
Adalah
menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercangkup di dalamnya
sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah.
Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah hadis
mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam
sebuah kitab hadis yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah.
Pensyarah memulai penjelasannya dari kalimat demi kalimat, hadis
demi hadis secara berurutan. uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang
dikandung hadis seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya
hadis (jika ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-pendapat yang
beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari sahabat,
para tabi'in maupun para ulama hadis.
Ciri-ciri Metode Tahlili
Secara umum kitab-kitab syarah yang
menggunakan metode tahlili biasanya berbentuk ma'sur (riwayat) atau
ra'y (pemikiran rasional). Syarah yang berbentuk ma'sur ditandai
dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi'in
atau ulama hadis. Sementara syarah yang berbentuk ra'y banyak didominasi
oleh pemikiran rasional pensyarahnya.
Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1) Pensyarahan yang dilakukan menggunakan pola
menjelaskan makna yang terkandung di dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh.
2) Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi
kata, kalimat demi kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga
menerangkan sabab al wurud dari
hadis-hadis yang dipahami jika hadis tersebut memiliki sabab wurudnya.
3) Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah
disampaikan oleh para sahabat, tabi' in dan para ahli syarah hadis lainnya dari
berbagai disiplin ilmu.
4) Di samping itu dijelaskan juga munasabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadits lain.
5) Selain itu, kadang kala syarah dengan metode ini diwarnai kecenderungan
pensyarah pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak
pensyarahan, seperti corak fiqhy dan corak lain yang dikenal dalam
bidang pemikiran Islam.
b. Metode
Ijmali (Global)
Adalah menjelaskan atau
menerangkan hadis-hadis
sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam al-Kutub al-Sittah
secara ringkas, tapi dapat merepresentasikan makna literal hadis dengan bahasa
yang mudah dimengerti dan gampang dipahami.
Ciri-ciri Metode Ijmali
1). Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai
akhir tanpa perbandingan dan penetapan
judul.
2). Penjelasan umum dan sangat
ringkas.
Pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan
pendapat sebanyak-banyaknya. Namun demikian, penjelasan terhadap hadis-hadis
tertentu juga diberikan agak luas, tetapi tidak seluas metode tahlili.
c. Metode Muqarin (komparatif)
Adalah metode memahami
hadis dengan cara: (1) membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau
mirip dalam
kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama. (2)
Membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis.
Jadi metode ini dalam memahami hadis tidak
hanya membandingkan badis dengan hadis lain, tetapi juga membandingkan pendapat
para ulama (pensyarah) dalam mensyarah hadis.
Ciri-ciri Metode Muqarin
1). Membandingkan analitis
redaksional (mabahis lafziyyah) dan perbandingan periwayat periwayat,
kandungan makna dari masing-masing hadis yang diperbandingkan.
2). Membahas perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadis
tersebut.
3). Perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang
sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut kandungan (makna) hadis maupun korelasi (munasabah)
antara hadis dengan hadis.
Ciri utama metode ini adalah perbandingan, yakni
membandingkan hadis dengan hadis, dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah
hadis.
diberikan oleh ulama
daripada mengemukakan pendapat baru
d. Metode Maudhu’i (tematik)
Dalam hubungannya dengan
hadis, maka metode maudhu’i diartikan sebagai sebuah metode memahami hadis
dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam sebuah tema tertentu, yang
kemudian dibahas dan dianalisis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Misalnya,
menghimpun hadis-hadis yang berbicara tentang jual beli, riba dan lain-lain.
Menurut Yusuf Qardhawi untuk dapat memahami as-Sunnah
dengan benar, kita harus menghimpun semua hadis shahih yang berkaitan
dengan suatu tema tertentu. Selanjutnya mengembalikan kandungannya yang mutasyabih
kepada yang muhkam, yang muthlaq dengan yang muqayyad,
yang ‘am dan yang khas. Sehingga dengan ini tidak ada hadis yang
bertentangan dan dapat diperoleh makna yang lebih jelas.
Secara umum, langkah-langkah yang ditempuh
dalam metode maudhu’i adalah sebagai berikut :
a.
Menentukan sebuah tema yang akan dibahas.
b.
Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema
yang telah ditentukan.
c.
Menyusun kerangka pembahasan (out line)
dan mengklasifikasikan hadis-hadis yang telah terhimpun sesuai dengan spesifik
pembahasannya.
d.
Mengumpulkan hadis-hadis semakna yang satu
peristiwa (tempat dan waktu terjadinya hadis sama)
e.
Meneliti hadis dari tiap klasifikasi, jika
salah satu hadisnya shahih, maka keseluruhan hadis-hadis dalam klasifikasi yang
sama tidak perlu diteliti lagi keshahihannya.
f.
Menganalisis hadis-hadis tersebut, dengan
mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, muthlaq dengan
muqayyad, ‘am dan khas. Dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
g.
Meskipun metode ini tidak mengharuskan uraian
tentang pengertian kosa kata, namun kesempurnaannya dapat dicapai jika mufassir
berusaha memahami kata-kata yang terkandung dalam hadis, sehingga akan lebih
baik jika mufasir menganalisi matan hadis yang mencakup pengertian kosa kata,
ungkapan, asbab wurud dan hal-hal lain yang biasa dilakukan dalam metode
tahlily.
h.
Menarik kesimpulan makna yang utuh dari hasil
analisis terhadap hadis-hadis tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar