Laman

Cari Blog Ini

Selasa, 11 Oktober 2011

ulumu al hadits 1


ULUM AL-HADIS
    
      Kriteria hadits shahih  dan perbedaannya dengan hadits dhaif dan maudhu’
Hadits shahih adalahhadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabit, serta tidak syadz dan tidak cacat.

Dari definisi tersebut, maka untuk menggolongkan suatu hadits dapat dikatakan sebagai hadits shahih, setidaknya harus memenuhi beberapa kriterian sebagai berikut :
a.   Sanadnya bersambung, semenjak dari Nabi, sahabat, hingga periwayat terakhir.
b.  Periwayatnya harus orang yang adil dan dhabit. Adil artinya, periwayat setia mengamalkan agamanya sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Periwayat tidak pernah bohong, apalagi pembohong. Dhabit artinya, periwayat mempunyai hafalan yang kuat, cermat dan mengetahui ada perubahan periwayatan atau tidaknya (periwayat tidak pelupa).

c.  Informasi haditsnya tidak syadz, Maksudnya, informasi yang terkandung didalamnya tidak bertentangan dengan informasi yang dibawa oleh orang-orang yang lebih berkualitas, atau dalil lain yang lebih kuat. Sebab sungguhpun sebuah hadits diriwayatkan oleh orang-orang “berkualitas” dan bersambung sanadnya, sehingga hadits itu dapat dikatakan shahih sanadnya, kalau kandungan haditsnya (matannya) ternyata syadz, maka hadits tersebut jadi tidak shahih.
d.  Hadits yang diriwayatkan itu tidak cacat, seperti, tidak ada pengelabuhan dengan cara menyambung sanad hadits yang sebenarnya memang tidak bersambung, atau mengatasnamakan dari Nabi, padahal sebenarnya bukan dari Nabi.

Hadits dhaif adalah : hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih maupun hadits hasan (maqbul).
adapun penyebab kedha’ifan (suatu hadits dapat dikatakan dhai’f) suatu hadits adalah dikarenakan :
a.       Karena terdapat sanat yang tidak bersambung (terputus),
b.      Karena adanya cacat pada periwayatnya maupun matan hadits yang dibawa.

Hadits maudhu’ adalah : sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW  baik perbuatan, perkataan, taqrir, dan sifat beliau secara dusta. Lebih tepat lagi ulama hadits mendefinisikannya sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja.

Hadits dhaif dan maudhu’ tidak boleh dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum dikarenakan kelemahan hadits dhaif yang tidak bersambung sanadnya dan atau terdapat cacat dalam matannya dikhawatirkan matan hadits tersebut adalah palsu dan dapat merusak tatanan aqidah maupun amaliah umat muslim itu sendiri. Akan tetapi terdapat sebagian ulama’ yang membolehkan menggunakan hadits dhaif sebagai pemicu atau penyemangat dalam ibadah. Sementara itu hadits maudhu’ jelas-jelas tidak boleh digunakan karena tidak bersumber dari Rasul Muhammad. Sehingga bias jadi hadits itu diciptakan berdasar nafsu pembuatnya demi kepentigan-kepentingan tertentu yang malah akan memecah belah Islam.
2.   Metode memahami hadits
a. Metode Tahlili  (Analitis)
Adalah menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercangkup di dalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah.
Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah hadis mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah.
Pensyarah memulai penjelasannya dari kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya hadis (jika ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para tabi'in maupun para ulama hadis.
Ciri-ciri Metode Tahlili
Secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili biasanya berbentuk ma'sur (riwayat) atau ra'y (pemikiran rasional). Syarah yang berbentuk ma'sur ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi'in atau ulama hadis. Sementara syarah yang berbentuk ra'y banyak didominasi oleh pemikiran rasional pensyarahnya.
Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili  mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)  Pensyarahan yang dilakukan menggunakan pola menjelaskan makna yang terkandung di dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh.
2)   Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan sabab al wurud dari hadis-hadis yang dipahami jika hadis tersebut memiliki sabab wurudnya.
3)   Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sahabat, tabi' in dan para ahli syarah hadis lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
4)   Di samping itu dijelaskan juga munasabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadits lain.
5)  Selain itu, kadang kala syarah dengan metode ini diwarnai kecenderungan pensyarah pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak pensyarahan, seperti corak fiqhy dan corak lain yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.
b.   Metode Ijmali  (Global)
Adalah menjelaskan atau menerangkan hadis­-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam al-Kutub al-Sittah secara ringkas, tapi dapat merepresentasikan makna literal hadis dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami.
Ciri-ciri Metode Ijmali
1).  Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir  tanpa perbandingan dan penetapan judul.
2).  Penjelasan umum dan sangat ringkas.
Pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat sebanyak-banyaknya. Namun demikian, penjelasan terhadap hadis-hadis tertentu juga diberikan agak luas, tetapi tidak seluas metode tahlili.

c.   Metode Muqarin (komparatif)
Adalah metode memahami hadis dengan cara: (1) membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama. (2) Membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis.
Jadi metode ini dalam memahami hadis tidak hanya membandingkan badis dengan hadis lain, tetapi juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah hadis.
Ciri-ciri Metode Muqarin
1).  Membandingkan analitis redaksional (mabahis lafziyyah) dan perbandingan periwayat periwayat, kandungan makna dari masing-masing hadis yang diperbandingkan.
2).  Membahas perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadis tersebut.
3).  Perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut  kandungan (makna) hadis maupun korelasi (munasabah) antara hadis dengan hadis.
Ciri utama metode ini adalah perbandingan, yakni membandingkan hadis dengan hadis, dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis.
diberikan oleh ulama daripada mengemukakan pendapat baru

            d.  Metode Maudhu’i (tematik)
Dalam hubungannya dengan hadis, maka metode maudhu’i diartikan sebagai sebuah metode memahami hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam sebuah tema tertentu, yang kemudian dibahas dan dianalisis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Misalnya, menghimpun hadis-hadis yang berbicara tentang jual beli, riba dan lain-lain.
Menurut Yusuf Qardhawi untuk dapat memahami as-Sunnah dengan benar, kita harus menghimpun semua hadis shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Selanjutnya mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, yang muthlaq dengan yang muqayyad, yang ‘am dan yang khas. Sehingga dengan ini tidak ada hadis yang bertentangan dan dapat diperoleh makna yang lebih jelas.
Secara umum, langkah-langkah yang ditempuh dalam metode maudhu’i adalah sebagai berikut :
a.       Menentukan sebuah tema yang akan dibahas.
b.      Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang telah ditentukan.
c.       Menyusun kerangka pembahasan (out line) dan mengklasifikasikan hadis-hadis yang telah terhimpun sesuai dengan spesifik pembahasannya.
d.      Mengumpulkan hadis-hadis semakna yang satu peristiwa (tempat dan waktu terjadinya hadis sama)
e.       Meneliti hadis dari tiap klasifikasi, jika salah satu hadisnya shahih, maka keseluruhan hadis-hadis dalam klasifikasi yang sama tidak perlu diteliti lagi keshahihannya.
f.       Menganalisis hadis-hadis tersebut, dengan mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, muthlaq dengan muqayyad, ‘am dan khas. Dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
g.      Meskipun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosa kata, namun kesempurnaannya dapat dicapai jika mufassir berusaha memahami kata-kata yang terkandung dalam hadis, sehingga akan lebih baik jika mufasir menganalisi matan hadis yang mencakup pengertian kosa kata, ungkapan, asbab wurud dan hal-hal lain yang biasa dilakukan dalam metode tahlily.
h.      Menarik kesimpulan makna yang utuh dari hasil analisis terhadap hadis-hadis tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar