MEMBUMIKAN
PERTANIAN
(Ijma’ Politik
Pangan)
Oleh :
Mustofa Khoyalim
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara agraris[1] digambarkan
sebagai Negara “Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karto raharjo”,
ungkapan yang menggambarkan kekayaan dan kesuburan bangsa, disertai dengan
keadaan masyarakat aman sejahtera. Kesuburan dan kekayaan alam Indonesia
memang tidak diragukan lagi. Dengan bermodalkan kekayaan alam dan kesuburan
yang dimilikinya seharusnya bangsa ini dapat menghantarkan rakyatnya sejahtera
(setidaknya tercukupi semua kebutuhan pokoknya). Ironis memang jika Negara
sesubur Indonesia
tidak mampu mensejahterakan rakyatnya.
Membicarakan masalah pangan tidak akan lepas dari politik dan penguasa.
Isu ketahanan (swasembada) pangan merupakan isu hangat yang selalu mencuat
disetiap janji-janji politik, disetiap orde, setiap rezim dan atau setiap kali
pergantian kepemimpinan, masalah pangan menjadi salah satu prioritas janji
politik peguasa untuk memikat hati rakyat. Hal ini dapat dilihat sejak pertama
kali bangsa ini lahir. Presiden pertama republik ini Ir. Sukarno mengatakan
bahwa “persoalan pangan adalah persoalan hidup mati bangsa Indonesia”.[2]
Dimasa pemerintahan orde baru dibawa
kepemimpinan presiden Suharto Indonesia
berhasil mencapai swasembada beras. Prestasi yang cukup membanggakan, tak hanya
itu Indonesia
juga mampu menunjukkan pada dunia bahwa bangsa ini memiliki kepedulian yang
besar terhadap kemanusiaan dengan mengumpulkan 100.000 ton beras disumbangkan
untuk mengurangi kelaparan dunia.[3] Sangat
disayangkan ketika prestasi swasembada ternyata tidak diiukuti dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat (baca: petani gurem)[4].
Dan lebih disayangkan lagi ketika Indonesia secara berangsur-angsur
tidak mampu mempertahankan prestasinya.
Apa sebenarnya permasalahan yang
dihadapi bangsa ini, bukankah setiap pemimpin dari masing-masing orde “mengaku”
telah memiliki komitmen dalam meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan
rakyat yang dalam bahasa fiqh dikenal dengan “tasharruful imam ‘ala al ra’iyyati
manuutun bi al maslahat” (kebijakan yang diambil oleh seorang
pemimpin hendaknya membawa maslahah bagi uamat yang dipimpinnya). Menmgapa
rakyat (petani) sebagai penopang bangsa masih saja berada dalam garis
kemiskinan (fuqara’ wa masakin) dan masuk dalam daftar orang-orang yang
berhak menerima zakat (mustahiq al zakah).
Realita Pertanian
Indonesia
Pangan adalah komoditas strategis yang merupakan kebutuhan mendasar suatu
Negara, terutama Negara berkembang seperti Indonesia. Krisis pangan yang
terjadi secara meluas akan melahirkan kegalauan ekonomi, sosial dan politik
yang dapat menggoyang stabilitas suatu Negara. Sejarah menceritakan bahwa
kelangkaan pangan, terutama beras, yang menyebabkan melonjaknya harga pada
tahun 1966 dan 1998 sangat berpengaruh pada krisis ekonomi, social dan politik,
dan berujung pada pergantian pemerintahan kala itu.[5]
Walaupun beras bukan makanan asli Indonesia, namun pencapaian swasembada
beras akan menjadi penting karena sebagian besar penduduk Indonesia telah “tercandukan”
oleh beras dan menjadikannya sebagai makanan pokok.[6] Agak
mengherankan jika Indonesia
sebagai Negara agraris tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan beras dan
mengimpornya dari Negara lain.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa impor beras di Indonesia
hingga Agustus 2011 telah mencapai angka 1,62 juta ton. Jumlah penduduk miskin
sebanyak 30,02 juta jiwa, 57,78 % diantaranya bahkan berada di sektor pertania
(BPS, Maret 2011). Setiap tahun pemerintah harus mengeluarkan Rp.110T untuk
impor pangan (termasuk didalamnya beras). Sebagaimana dicatat oleh BPS bahwa
60% pangan Indonesia
diperoleh dari impor.
Minimnya anggaran pertanian yang hanya Rp. 16 trilyun atau 2% dari jumlah
APBN yang ada membuat pemerintah harus lebih kreatif lagi dalam hal kebijakan
pangan, selain permasalahan anggara masalah konversi lahan pertanian
menjadi yang semakin hari semakin meningkat bukanlah masalah sederhana.
Menurut Anton Apriantono, terdapat lima
masalah lahan di Indonesia.
Pertama : sempitnya kepemilikan lahan oleh petani sehingga sulit untuk
menyangga kehidupan keluarga petani. Kedua : menurunya produktivitas
lahan, akibat intensifikasi berlebihan dan penggunaan pupuk kimia secara terus
menerus. Ketiga : konversi lahan yang bertambah besar untuk
keperluan non-pertanian. Keempat : belum
optimalnya implementasi pemerataan komoditas terkait dengan
agroekosistem. Kelima : masih banyak lahan tidur ( idle land).[7]
Minimnya anggaran pertanian, buruknya insfrastuktur dan semakin sempitnya
lahan tanam akan semakin menyiksa petani jika ditambah dengan kebijakan
perdagangan internasional (impor pangan) yang tentu saja akan sangat
menyengsarakan petani. Hal ini dikarenakan besarnya biasa produksi yang dipikul
petani tidak dapat bersaing dengan pangan impor yang lebih murah.
Petani dan
Kemiskinan
Istilah petani dan kemiskinan
adalah dua kata yang saling berkaitan. Dimana keduanya saling menggambarkan
antara satu dan lainnya. Sehingga wajarsaja jika anak-anak kita akan merasa “malu”
ketika harus menyebutkan profesi orang tuanya yang petani (karena petani
“teridentikkan” dengan kemiskinan). Realita kehidupan yang mudah kita jumpai di
setiap sudut Negara ini yang seharusnya tidak begitu.
Jika mau jujur sektor pertanian
sangat membantu dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Dari usaha tani padi saja
dapat menyediakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan bagi sekitar 21 juta
rumah tangga pertanian. Namun, kondisi yang tidak menguntungkan (baik itu
karena alam maupun kebijakan) seringkali membuat petani enggan untuk menekuni
profesinya dikarenakan hasil yang didapat tidaklah sebanding dengan apa yang
telah dikerjakan. Akibat besarnya modal dan minimnya pendapatan yang
dikarenakan jatuhnya harga saat panen.
Dilematis, merupakan predikat yang
melekat pada para petani (petani gurem) di Indonsia. Beban besarnya piaya
operasional yang harus dikeluarkan setiap kali masa tanam tidak sebanding
dengan hasil yang didapatnya saat masa panen dating. Hal ini yang menghantarkan
para petani pada titik kebangkrutan. Dilain sisi petani tidak memiliki
ketrampilan lain yang dang dapat menghasilkan pendpatan yang lebih menjanjikan.
Walhasil petani hanya biasa berharap keberuntungan akan menghampirinya. Tak heran
jika banyak ditemukan petani yang ikut mengantri dalam pembagian RASKIN.
Prospek pertanian yang kurang
menjanjikan, menjadikan profesi mulia ini kurang diminati oleh generasi muda.
Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jumlah pelajar maupun mahasiswa yang memasuki
fakultas maupun jurusan pertanian juka dinbanding denagn jurusan atau fakultas
lain.[8] Bagaimana
dengan nasib pangan kita kedepan, jika masyarakat telah mulai enggan untuk
bertani. Perlu ada reformasi dan restorasi pertanian Indonesia. Perubahan pola fakir
perlu dilakukan sebagai modal dasar untuk melakukan perubahan yang lebih baik
dan pencapaian kesejahteraan masyarakat bukan hanya swasembada.
Kebijakan Kepemilikan
Lahan Pertanian
Sebagaimana telah dikutip sebelumnya
bahwa masalah lahan pertanian turut menyumbang penciptaan keterpurukan ekonomi
pangan Indonesia.
Dimana mayoritas petani Indonesia
tergolong petani gurem yang rata-rata memiliki laha 0,7 ha/petani. Rasanya akan
sangat sulit mensejahterakan masyarakat yang hanya memiliki “secuil” lahan
garapan. Sementara disisi lain masih banyak terdapat lahan terbengkalai (lahan
tidur) yang dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya.
Solusi atas masalah-masalah itu
memang sudah digagas dan sebagian sudah diimplementasikan. Namun, belum
mencapai hasil yang memuaskan. Sesungguhnya solisi untuk menangani
masalah-masalah tersebut telah dibahas dalam kita-kitab fiqih klasik. Diantaranya
pembahasan mengenai Ihya’ al-Mawat yaitu upaya seseorang untuk
menghidupkan tanah mati (tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak
dimanfaatkan oleh siapapun). Dengan artian melakukan upaya mengolah tanah agar
menghasilkan.[9]
Selain Ihya’ al-Mawat, dalam
fiqih ditemukan istilah iqtha’ yaitu kebijakan pemimpin dalam memberikan
lahan milik Negara kepada rakyat secara geratis. Sebagaimana telah dicontohkan
oleh Rasul SAW yang pernah memberikan sebidang tanah kepada Abu Bakar dan Umar.
Hal ini menunjukkan kebolehan Negara memberikan tanah milik Negara kepada
rakyat.[10]
Selain itu dalam Kitabnya Abdurrahman al-Maliki menegaskan bahwa man yamliku
yuntiju.[11]
Dengan artian pengelolaan lahan merupakan bagian integral dari kepemilikan
lahan itu sendiri. Sehingga siapa saja yang menelantarkan lahan pertanian
miliknya selama tiga tahun berturut-turut, maka hak kepemilikannya gugur.
Konsep yang telah ada dalam
literature fiqih klasik tersebut seharusnya dapat dijadikan rujukan dalam
pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah Indonesia sebagai upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang semakin lama semakin terpuruk.
Kebijakan
Pengembangan Komoditas Pangan (Upaya Mensejahterakan Petani)
Peran Negara, dalam hal ini adalah
pemerintah sangatlah penting dalam upaya mensejahterakan petani. Salah satunya
dengan mengeluarkan kebijakan dalam peningkatan produksi pangan. Badan Pusat
Statistik (BPS) pada awal November 2011 mengumumkan bahwa terjadi penurunan
produksi padi tahun 2011 di perkirakan turun 1,63 % dibanding produksi padi
tahun 2010 yang tercatat 66,4 juta ton. Untuk mengatasi penurunan produktifitas
padi presiden Susilo Bambang Yudoyono menetapkan targetbesar yaitu pencapaian
surplus beras sebesar 10 juta ton pada 2014.
Target yang tidak mudah untuk dicapai
terlebih dengan adanya kondisi laju konversi sawah produktif menjadi kegunaan
lain telah melebihi 100 ribu hektar per tahun, sedangkan kemampuan rata-rata
pemerintah untuk mencetak sawah tidak mencapai 50 ribu hektar per tahun. Namun,
bukan berarti target tersebut tidak mungkin terwujud. Dengan kebijakan
pertanian yang revosioner target tersebut akan dapat dicapai.
Untuk mencapai surplus beras 10 juta
ton tahun 2014, pada tahun 2011
pemerintah setidaknya telah mencanangkan tiga program besar dengan target
kuantitatif sebagai berikut : Pertama : optimalisasi saluran irigasi
seluas 220 ribu hektar dan pembangunan irigasi baru dan rehabilitasi irigasi
lama seluas 285 ribu hektar. Kedua, penyaluran pupuk bersubsidi 9,9 juta
ton dan benih bersubsidi 165 ribu ton. Ketiga : pencetakan lahan sawah
baru 110 ribu hektar.[12]
Tidak hanya mengejar target
swasembada semata, yang terpenting adalah kesejahteraan masyarakat. Buat apa
swasembada jika rakyat malah banyak yang menderita. Untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan rakyat pemerintah perlu menerapkan kebijakan pasar komoditas
pangan yang pro kepentingan rakyat Indonesia. Sehingga kesetabilan
harga pangan dapat tetap terjaga tanpa harus merugikan rakyat (petani). Dengan
membatasi jumlah impor pangan dan meniadakan impor ketika masa panen raya yang
dapat menurunkan harga dan merugikan petani.
Permasalahan isnfrastruktur yang buruk juga perlu diatasi. Jeleknya
kondisi jalan yang menghambat distribusi hasil panen dari desa ke kota membuat mahalnya
biaya operasional yang harus ditanggung oleh petani. Bukankah suatu yang
mengherankan jika biaya operasional pengiriman barang dari Australia jauh lebih murah jika dibandingkan
dengan biaya pengiriman barang ke Kalimantan.
Hal ini dikarenakan buruknya infrastruktur.
Menggagas Ijma’
Politik Pangan
Keterpurukan masalah pangan
disebabkan oleh politik. Politik sebagai alat melahirkan kebijakan dan pengaruh
yang kuat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Dalam politik pangan
harus menempatkan pangan sebagai urusan pokok masyarakat yang harus
diprioritaskan. Politik pangan harus didukung oleh wakil rakyat dan ekskutif.
Karena pangan merupakan salah satu pilar ketahanan nasional. Politik pangan
telah menjadikan Negara-negara besar seperti Amerika, Cina, menguasai 60%
produk pangan dunia karena kebijakan politik pangan mereka jelas.
Politik pangan yang diterapkan
haruslah berorientasi kepada proses mengangkat harkat dan kesejahteraan petani.
Di Negara-negara maju, petani dan usaha pertanian menjadi anak emas yang mendapatkan
perhatian besar dalam sisi kebijakan politik, anggaran dan perlindungan dari
berbagai gangguan. Dalam hal ini seharusnya petani sebagai obyek politik pangan
harus ditetapkan sebagai “mitra” dalam penentuan kebijakan pangan.
Kesepaktan bersama yang dalam bahasa santri dikenal sebagai ijma’
dan dalam pancasila termuat dalam sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sehingga tidak diragukan
lagi keshohihan akan kesepakatan bersama tersebut baik itu dalam Islam
(sebagai agama) dan bagi Pancasila (sebagai Negara). Menunjukkan betapa
pentingnya kesepakatan dan komitmen bersama dalam merumuskan dan menjalankan
kebijakan bersama.
Sebagus apapun program yang ada,
tidak akan menghasilkan ketika tidak adanya kesepakatan bersama. Seperti yang
terjadi dewasa ini, lemahnya ijma’ politik pangan menjadi salah satu
penghambat tercapainya cita-cita besar guna mensejahterakan rakyat. Dan ijma’
itu tidak pernah ada jika masing-masing pihak masih kukuh membawa
kepentingan pribadi ataupun kelompoknya diatas kepentingan bersama (rakyat).
Sebagai contoh kongkrit adalah tidak
adanya ijma’ antara mentri pertanian dan mentri perdagangan yang
menyebabkan terjadinya impor bawang merah secara besar-besaran disaat petani
sedang panen. Hal ini menjadi pukulan berat bagi petani bawang merah. Petani
jelas menderita kerugian ekonomi (dan emosional) jika harga jual bawang merah
jatuh sampai Rp. 3.000 per kilo. Harga yang tidak sebanding dengan besarnya
biaya yang telah dikeluarkan.[13]
Kasus diatas tidak akan terjadi jika
sebelumnya telah ada ijma’ antara kedua intansi tersebut dan melahirkan
kordinasi yang baik antara keduanya. Begitu juga dalam hal pembuatan kebijakan
dan regulasi pertanian. Mustahil pertanian akan jaya sehingga menghantarkan
pada kemakmuran jika titak ada ijma’ didalamnya. Masing-masing pihak
saling membenarkan, menonjolkan kelebihan dan menggencet yang lain. Sehingga
tujuan kemakmuran terabaikan. Adanya hanyalah upaya untuk menunjukkan kehebatan
masing-masing. Ada
baiknya jika hitam, putih, merah, kuning, hijau, biru, ungu, orange dan lainnya
melebur bersama dalam ijma’ politik merah putih.
Penutup
Pangan merupakan salah satu
pilar ketahanan nasional disamping energi, keamanan dan moral. Senada dengan
pernyataan Presiden pertama RI Sukarno “persoalan pangan adalah persoalan hidup
mati bangsa Indonesia”. Sejarah telah membuktikan bahwa pangan telah
menjadi senjata politik ampun dalam menggulingkan suatu rezim pemerintahan.
Politik pangan sebagai sarana
pembuatan kebijakan yang menghantarkan pada kesejahteraan rakyat harus bebar
benar berorientasi pada kesejahteraan petani dan kemandirian pangan nasional,
bukan pada keberpihakan pada pemilik modal yang justru akan menyengsarakan
rakyat seperti yang banyak terjadi dewasa ini.
Perlu adanya ijma’ regulator
dan semua pihak yang terkait termasuk petani, dalam merumuskan kebijakan pangan
nasional yang berorientasi kepada peningkatan martabat dan kesejahteraan
rakyat.
Daftar
Pustaka
Abu ‘Ubaid al-Qasim, al-Amwal : Ensiklopedia Keuangan Publik, Terjemah
: Setiawan Budi Utomo, Jakarta
: Gema Insani, 2009
Agus Pakpahan, Petani
Menggugat, Bogor
: Gaperindo, 2004
Anton Apriyantono, Pembangunan Pertanian di Indonesia,
Departemen Pertanian RI, 2006
Al- Maliki Abdurrahman, As-Siyasah al-Iqtishodiyah al-Mutsia,
(ttp.:tp), 1963
Ali, Athif Abu Zaid Sulaiman, Ihya’ al-Aradhi al-Mawat fi al-islam,
Bairut : Darul Ummah, 2004
Ija Suntana,
Politik ekonomi Islam: siyasah maliyah : teori-teori pengelolaan sumber daya
alam, hukum pengairan Islam, undang-undang sumber daya air di Indonesia, Jakarta, Pustaka Setia,
2010
Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani, Menyikapi Kejahatan
Industri Pangan, Yogyakarta: Resist Book,
2004
Muhammad Baqir Ash-Shadar, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishoduna,
terjemah, Jakarta
: Zahra, 2008
Mulkan, Abdul Munir, Moral Politik Santri : Agama dan
Pembelaan Kaum Tertindas, Jakarta : Erlangga, 2003
[1]
Luas lahan padi (sebagai bahan makanan pokok) yang tersedia mencapai 12.630.00
hektar (BPS,2010), serta jumlah petani didalamnya mencapai 47,7 juta jiwa (BPS,
2010)
[2]
Masalah pangan dengan adanya kelangkaan beras yang mengakibatkan kenaikan harga
sehingga kelaparan semakin meluas menyebabkan runtuhnya pemerintahan Presiden
Sukarno.
[3]
Tahun 1984, merupakan puncak produktivitas pangan Indonesia. Yang semula tak kurang 2
juta ton pertahun, beras diimpor untuk memenuhi kebutuhan pangan, maka tahun
1984 telah mampu memenuhi kebutuhan sekitar 160 juta penduduk (saat itu) dan
bahkan secara gotong royong petani Indonesia mengumpulkan gabah secara sukarela
sebesar 100.000 ton untuk disumbangkan kepada petani dunia lain yang kekurangan
pangan.
[4]
Data menunjukkan umumnya petani Indonesia
tergolong petani gurem dengan luas garapan kurang dari 1 ha. Me nurut hasil
sensus 1983, petani Indonesia
rata-rata memiliki lahan 0,98 ha/petani. Namun, menurut sensus 2003 petani Indonesia
hanya memiliki 0,7 ha/petani.bahkan di pulau Jawa petani hanya memiliki 0,3 ha
dan luar jawa memiliki 0,8 ha/petani (sinar Harapan, 15 Juli 2011).
[5]
Suryana, A. 2002. Keragaan Perberasan Nasional dalam Pambudy et al.
(Eds). Kebijakan Perberasan di Asia. Regional Meeting in Bangkok, Oktober 2002.
[6]
Dalam hal ini pemerintah telah mengajukan berbagai bahan makanan lain pengganti
beras, namun rakyat tidak menyukainya.
[7]
Anton Apriyantono, Pembangunan Pertanian di Indonesia, h. 13
[8]
Minat generasi muda untuk masuk ke fakultas pertanian di Sumut mulai ada
penurunan hingga 80 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Padahal, kebutuhan
tenaga ahli di bidang pertanian justru
semakin meningkat di era ini. Demikian disampaikan Ketua Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sumut, Paulus Ronald Sinambela kepada wartawan,
Minggu (31/7) dalam acara diskusi internal di HKTI Sumut di Jalan Setia Budi
Medan. (Sumut Post, 1 Agustus 2011)
[9]
Rasul SAW bersabda : “siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu
menjadi miliknya” HR. al-bukhari.
[10]
Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, h. 60)
[11] Ibid.,
61
[12]
Bustanul Arifin, Anekdot Kebijakan Surplus Beras 10 juta Ton, Metro TV,
Jum’at, 29 Juli 2011, 22:47 WIB.
[13]
Selain itu terdapat ketidak sinkronan antara kementan dan kementrian
perdagangan, kebijakan impor beras ditetapkan oleh pemerintah sebesar 1,5 juta
ton beras tahun 2011. namun mentri perdagangan akan menambah 1,7 juta ton
beras. Dalam posisi ini BULOG dan kementan tidak dapat berbuat banyak, walaupun
kementan menyampaikan surplus beras tahun 2011 berkisr 15-16 juta ton beras.
Hal ini menunjukkan lemahnya kordinasi dan sinkronisasi antar departemen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar