QURBAN VS EGOISME
(Merajut
Kemanunggalan dalam Kebhinekaan Bermazhab)
Oleh
: Mustofa Khoyalim
Ritual qurban yang dalam pemaknaan
sederhana difahami sebagai ritus penyembelihan hewan semisal unta, kambing,
sapi / kerbauyang dilakukan pada tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijah sesuai
dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan oleh syara’, merupakan bentuk
ketertundukan seorang hamba pada sang pencipta.
Istilah qurban sendiri berasal dari
akar kata bahasa Arab qaraba – yaqrabu –
qurbanan yang mengandung arti “dekat – mendekat”. Yaitu suatu ritual /
upaya pendekatan diri seorang hamba kepada Tuhannya, dengan cara memberikan
persembahan terbaiknya melalui penyembelihan hewan qurban (yaitu : unta,
kambing, sapi/kerbau yang telah ditentukan oleh syara’) dan mendistribusikannya
kepada umat yang membutuhkannya.
Ibadah qurban merupakan bentuk
pembelajaran Allah kepada hambanya. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari
disyari’atkannya ibadah qurban. Diantaranya, Allah ingin mengajarkan kepada
hamba-Nya untuk menghilangkan egoisme dan menggantinya dengan keikhlasan. Hal
ini ditunjukkan denang dengan adanya firman Allah surat al-Hajj ayat 37: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.
Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan
Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang berbuat baik.” (Q.s Al Hajj 037).
Ayat di atas menunjukkan pada
hamba-Nya untuk selalu ikhlas dalam setiap bentuk ibadah sebagai wujud
penghambaan pada Allah. Karena sesungguhnya pengorbanan yang diterima oleh
Allah bukan dilihat dari banyaknya daging dan derasnya darah yang mengalir dari
hewan qurban yang disembelih, melainkan keikhlasan dalam persembahan dan
ketertundukan dalam melaksanakan setiap perintah Allah serta menjauhi segala
larangan Allah (taqwa).
Dalam ibadah qurban terdapat
sinyal-sinyal Allah dalam mengajari umat-Nya unuk mengikis rasa egois
(mementingkan diri sndiri). Dengan berbagi hewan qurban kepada umat yang
membutuhkan. Praktek ibadah semacam ini merupakan bentuk spiritalitas
tertinggi. Yaitu sebuah praktek ibadah yang mencakup penghambaan secara
vertical (hablu minallah) dan
sekaligus penghambaan secara horizontal (hablu
minannas). Terlebih dalam pendistribusian hewan qurban yang tidak mengenal perbedaan
mazhab bahkan agama sekalipun (meski untuk pendistribusian hewan qurban kepada
non-muslim belum terdapat ijma’ ulama’, namun terdapat beberapa ulama’ yang
membolehkannya. Tentunya dalam keadaan-keadaan tertentu).
Tidak ada larangan bagi mazhab
syafi’i menerima dan memberikan hewan qurban kepada mazhab Hambali, tidak pula
sebaliknya. Juga tidak ada larangan bagi mazhab Maliki memberi dan menerima
hewan qurban dari mazhab Hanafi, dan berlaku sebaliknya. Betapa indahnya ketika
umat Islam mampu berbagi kepada sesama lintas mazhab, lintas golongan, lintas
aliran, bahkan lintas keyakinan.
Sungguh disayangkan ketika ajaran kemanuggalan
ibadah qurban yang mampu melampoi egoisme bermazhab, ibadah qurban yang mampu
memberikan rasa kebersamaan sebagai umatan
wahidah (kemanunggalan umat) diatas perbedaan yang ada, sangat jarang kita
temukan dalam keseharian.